Bab 10 - Pilihan, Tapi Tidak Bisa Memilih

56 14 0
                                    

By: Fakhrin & Jenny

Lyra diam memandang tubuh Rizal yang tergenangi darah. Bahkan setelah satu jam, darahnya masih belum mengering. Mengalir keluar dari luka di bagian belakang kepala. Dia mengepalkan kedua tangan kuat-kuat di atas pangkuan. Kepalanya terasa pening karena bingung dengan penjelasan Tuan Clyde barusan dan takut.

“Kami hanya pelajar biasa, kenapa meminta tolong pada kami?” Dia memberanikan diri bertanya sesopan mungkin.

“Kami curiga pelakunya adalah salah satu mata-mata yang berkhianat setahun yang lalau. Kalau benar, artinya dia tahu semua soal mata-mata yang ada. Jadi, kami tidak mau mengambil risiko semua mata-mata terbunuh,” sahut Tuan Clyde tenang.

“Kalau kami yang terbunuh, bagaimana?” cicit Anaya yang ketakutann.

“Meskipun kalian kami lepaskan untuk menyelidiki soal ini, kami tetap mengawasi dari jauh. Jadi, jangan khawatir,” sahut salah satu mata-mata yang ada di situ.

“Kenapa kami? Kenapa bukan yang lain?” tanya Lyra lagi.

“Kami tidak pernah memilih orang secara sembarangan,” sahut Tuan Clyde.

Suasana kembali hening dengan semua mata terarah pada kelima remaja yang tampak diam. Lyra masih berusaha mencerna informasi yang barusan, Anaya tampak takut, sementara Ervin dan Dendra diam saja sejak tadi. Ada banyak hal yang ingin Lyra tanyakan, tapi merasa kalau Tuan Clyde tidak akan mau menjawabnya. Jadi, dia pun memilih diam saja dan menunggu untuk instruksi selanjutnya.

“Kalau kalian tidak sanggup …,” Tuan Clyde menyilangkan kedua tangan di dada, “kami memberi kesempatan untuk pergi. Dengan catatan, jaga ucapan dan tindakan kalian. Saya beri waktu selama satu jam. Bagi yang ingin keluar, bisa mengatakannya pada salah satu mata-mata di sini untuk menemui saya.”

Setelah berkata demikian, Tuan Clyde pun langsung berlalu dari situ diikuti dua mata-mata. Menyisakan Lyra dan keempat rekannya bersama delapan mata-mata lain. Dua orang berjaga di pintu, sementara dua orang lain ikut keluar. Membuat suasana kali ini benar-benar hening. Menimbulkan sedikit rasa ngeri dalam diri kelima remaja itu.

Lyra menarik napas panjang dan berusaha mengembuskannya sepelan mungkin. Jantungnya berdegup kencang sejak tadi bak tengah lari maraton. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan lewat. Ada sedikit kegelisahan karena takut orang tuanya di rumah khawatir dia pulang malam tidak memberi kabar.

Waktu satu jam berjalan dengan lambat. Dua mata-mata yang tadi keluar kembali membawa makanan dan minuman. Membagikannya pada Lyra, Anaya, Dendra, Ervin, dan Arsa. Ada keengganan untuk menyantap makanan itu dalam diri Lyra. Dia takut ada racun yang diam-diam dimasukkan untuk mencelakai mereka.

“Kamu tidak makan?” tanya Dendra.

“Aku tidak lapar,” sahut Lyra.

“Makanlah. Kalau kamu sakit, kami yang bertanggung jawab.” Salah satu mata-mata berkata dengan tegas. “Kalau kamu takut kami memberi macam-macam, saya akan mencicipnya sedikit.”

Lyra mengangguk dan mempersilakan mata-mata itu untuk mengambil sedikit makanan dan minumannya. Barulah setelah itu dia mau ikut makan. Suasana pun diisi oleh gemerisik kelima remaja yang tengah makan dalam pengawasan kedelapan mata-mata itu. Tidak ada obrolan sama sekali dan sibuk masing-masing.

Setelah selesai makan, Lyra melihat Anaya tampak termangu. Dia bisa membaca dengan jelas ketakutan dalam wajahnya. Memandangi tubuh Rizal yang masih tergeletak di lantai. Dia pun tengah ketakutan, tapi berusaha bersikap setenang mungkin. Tidak ingin menunjukkan di hadapan semua orang yang ada di situ.

Lyra's Secret Mission (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang