Bab 23 - Tinggal Sendiri

25 10 0
                                    

By: HydraGhea

Puk! Puk!

“Hei! Kak? Ngapain tidur di sini?”

Tepukan dan goyangan di bahu membuat Lyra mengerang bangun. Dia mengerjap-ngerjakan kedua mata dan membiarkan tiga anak SMP membantunya berdiri. Mengerang pelan sambil memegang kepalanya yang seperti berputar. Dia melihat ketiga anak SMP itu menatapnya penuh tanya.

“Kakak nggak apa-apa, ‘kan?”

“Iya, aku nggak apa-apa, kok. Cuma tadi aku kepanasan dan pingsan,” sahut Lyra berbohong.

“Oh, ya, udah, Kak. Kami cuma kaget aja tadi.”

“Iya. Makasih, ya, udah bangunin aku.”

Ketiga anak SMP itu pun pamit. Lyra mengeluh merasakan sakit di kaki dan tangan kirinya. Dia pun pergi dari situ dengan langkah sedikit pincang. Pergi ke sembarang arah dan tanpa tujuan. Dia tidak bisa—tidak ingin—pulang, tapi juga tidak tahu mau pergi ke mana. Lagi pula, percuma juga dia pulang karena orang tuanya sudah ada di tangan pencuri naskah proklamasi.

Langkahnya berakhir di sebuah bangku taman. Dia duduk di sana menunduk menatap ke tanah. Tubuhnya terasa begitu lelah. Pikirannya bercampur aduk tak keruan. Memikirkan nasib orang tuanya yang entah di mana sekarang.

“Sekarang aku harus gimana? Aku sendirian. Apakah aku sanggup menghadapi apa yang terjadi setelah ini dan menyelesaikan misinya?” gumamnya dengan suara tercekat.

Lyra memutuskan beranjak dari tempat itu. Tidak ingin mengambil risiko ada orang jahat yang bisa datang kapan saja dan dari mana saja. Dia berjalan menjauh dari tempat tinggalnya. Saat ini, keinginan menyelamatkan orang tuanyalah yang menguatkan tekadnya untuk berjuang meskipun hanya tinggal sendirian.

▪︎▪︎▪︎

“Pak, kami sudah melaporkan kasus hilangnya anak kami. Kenapa tidak juga ada tanggapan?” Andy—papa Lyra—membentak petugas polisi yang ada di ruangan itu. “Kalian ini becus tidak, sih, jadi polisi yang tugasnya mengayomi masyarakat?”

“Maaf, Pak. Bukannya kami tidak mau menanggapi keluhan Bapak, tapi saat ini kami sedang menangani masalah penting.”

“Saya tidak peduli, ya, Pak! Negara memang penting, tapi kalian tetap harus memperhatikan rakyat juga!”

“Pak—”

Puk!

“Sabar, Pak.”

Andy menoleh dan sudah hendak mendampart siapa pun yang menyuruhnya sabar. Namun, dia langsung terdiam saat melihat sosok lelaki yang jauh lebih muda. Dia merasa mengenal, tapi tidak tahu di mana. Familiar dengan wajah dan suaranya.

“Mari, ikut saya, Pak. Kita bisa bicara. Ibu juga, mari.”

Andy pun merangkul istrinya—Anindi, dan mereka mengikuti pemuda itu. Keluar dari kantor polisi dan masuk ke mobil. Andy tidak curiga sama sekali karena saat ini yang di pikirkannya adalah Lyra yang sudah menghilang hampir tiga hari ini, bahkan ponselnya pun tidak bisa dihubungi.

“Kami mau dibawa ke mana?” Andy menatap pemuda tadi dan supirnya.

“Ke suatu tempat, Pak Andy. Sebelum itu …,” mobil tiba-tiba berhenti, pemuda tadi menoleh saat pintu penumpang belakang terbuka, “maaf, tapi kalian harus tidur dulu.”

Tanpa sempat memberontak, dua lelaki yang tadi membuka pintu, secara serempak memegang kepala dan menyuntikkan obat lewat leher. Dalam sekejab, kepala Andy dan Anindi seperti berputar dan mereka pun jatuh tak sadarkan diri.

▪︎▪︎▪︎

“Kamu kenapa, Dek?” Penjual bakso yang sedang mangkal di tepi jalan, menatap Lyra penuh tanya. Sudah hampir satu jam Lyra ada di situ, tapi tidak memesan apa-apa. “Kamu lapar, ‘kah?”

“Iya, Bang. Saya lapar,” sahut Lyra pelan dengan kepala tertunduk.

“Mau bakso? Mumpung udara dingin, enak makan yang panas-panas,” ucap Kang Bakso itu.

“Ah, saya nggak punya uang, Bang. Kabur dari rumah dan uangnya udah habis,” ucap Lyra setengah bohong, setengah jujur.

“Nggak apa-apa. Tunggu, ya. Abang buatin dulu baksonya.”

Lyra menatap saat lelaki itu dengan lincah meracik semangkuk bakso untuknya. Mengucapkan terima kasih saat diantarkan sekaligus dengan bumbunya. Dia pun makan dengan lahap. Dalam sekejab saja, baksonya pun habis tandas. Dikembalikannya mangkuk yang sudah kosong itu dan membantu sang penjuang bakso mencuci.

“Makasih, ya, Bang.” Lyra menatap lelaki itu penuh haru. “Aku bakal ingat kebaikan Abang ini.”

“Sama-sama, Dek. Abang pernah ngerasain gimana susahnya cari makan. Jadi, Abang bakal bantu siapa pun yang kesusahan. Kamu pasti bisa jadi lebih sukses daripada Abang. Semangat, ya!”

Lyra mengangguk dan pamit dari situ. Berjalan pelan dalam keremangan jalanan yang tidak ramai, tapi juga tidak sepi. Setelah rasa laparnya hilang, kondisinya terasa lebih segar dan tenang. Namun, dia masih harus memikirkan akan tidur di mana malam ini.

Duk!

Bruk!

“Ouch!” lirih Lyra saat tiba-tiba saja bahunya disenggol keras hingga terjatuh. “He—”

Dia terkejut saat berdiri dan hendak mendamprat penabraknya, tapi ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa di situ. Membuat bulu kuduknya meremang. Namun, sebuah kotak berbungkus kertas kado membuatnya diam. Dia meraih kotak itu dan tersadar kalau memang tadi ada orang, tapi entah ke mana perginya dan bagaimana bisa secepat itu.

“Kotak apa ini? Pasti punya orang yang nabrak aku tadi. Mungkin dia nggak sadar kotaknya jatuh. Apa aku tunggu di sini sebentar, ya? Kali aja orangnya balik.” Lyra bermonolog sendiri dan kalau ada orang lewat, pasti sudah dianggap gila.

Lyra duduk di tepi jalan dan menunggu dengan sabar. Namun, setelah satu jam berlalu dan tidak ada siapa pun yang datang, dia memutuskan pergi. Tidak nyaman karena ditatap aneh oleh orang-orang yang kebetulan lewat.

Lyra berjalan tak tentu arah hingga akhirnya tiba di depan masjid sebuah kampung. Dia pun duduk di situ mengistirahatkan diri, terutama kakinya. Helaan napas lega lolos saat merasakan embusan angin sejuk menerpa. Membuat tubuhnya terasa dingin seketika.

“Isi kotak apa, ya?” Dia kotak tadi dan menggoyangkannya. Rasa penasaran membuatnya bimbang, antara membiarkan atau membukanya. “Buka ajalah! Toh, orangnya juga nggak balik.”

Tangannya dengan cekatan membuka kotak itu tanpa merusak kertas kadonya. Melepaskan perlahan dan rapi setiap selotip yang digunakan untuk mengunci. Dalam sekejap, sebuah kotak cokelat terpampang di depannya. Dia pun membuka perlahan dengan jantung berdebar.

Tak disangka, isinya adalah uang dalam jumlah yang tidak sedikit serta sebuah kertas. Dia meraih kertas yang terlipat rapi di bagain atas. Membuka dan membaca isinya.

Nailyra,

Kamu punya satu kesempatan untuk membebaskan orang tuamu. Semua pilihan ada di tanganmu. Kalau kamu menyerah, darah orang tuamu jadi milikku, tapi kamu bebas. Kalau kamu mau pergi, ambil uangnya, 500jt; 20jt cas dan sisanya ada dalam kartu. Anggap saja aku membeli orang tuamu. PIN-nya: 665780. Pilihan ada di tanganmu, Lyra.

Deg!

Jantung Lyra berdegup kencang. Rasa takut kembali menelusup ke dalam hatinya. Dengan tangan gemetar, dia merobek kertas itu. Mengembalikannya ke dalam kotak dan membuang kotaknya ke tempat sampah di dekatnya. Dia duduk dan menangis terisak. Pikirannya kembali kalut dan tidak keruan.

“Mana mungkin aku nukar nyawa orang tuaku sama uang?” lirihnya.

Lyra menangis hingga napasnya sesak dan kedua matanya sembap. Dia pun akhirnya jatuh tertidur kelelahan di dekat tiang penyangga depan masjid. Pulas karena seharian ini tidak karuan. Tidak menyadari ada sosok berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup rapat, kecuali mata, yang mendekat dan menyelimutinya lalu pergi tanpa suara.

▪︎▪︎▪︎

12, November 2021

Lyra's Secret Mission (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang