By: Nur
Lyra menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Untuk mengusir rasa jenuh, ia bermain dengan benda pipih yang pintar. Gadis itu membuka berbagai macam aplikasi. Namun, bagi Lyra yang tersuguh di sana tidak terlalu menarik. Isinya hanya itu-itu saja dan ia sudah sering membukanya.
Benda yang sudah menjadi hal wajib di era milenial ini Lyra masukkan kembali ke tempat semula. Ia kembali melirik benda penunjuk waktu yang pergerakannya semakin maju. Mulutnya komat-komit menggerutu karena orang yang ditunggu tak kunjung datang.
Gadis yang mempunyai phobia terhadap darah itu mengembuskan napas kasar, lantas memejamkan mata. Ia mencoba untuk mencari ketenangan di tengah kekalutan yang melanda walaupun hanya sebentar. Rangkaian kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya kembali menari di otaknya.
Berawal dari naskah yang hilang hingga terjadinya sebuah penculikan, kemudian datang teka-teki yang menanti pemecahan, dihadapkan pada pilihan yang membuatnya terjebak dalam kegamangan, suara peluru yang dilepaskan, sampai tiga temannya yang ia lihat secara langsung sedang dijemput oleh kematian.
Semua itu begitu sulit untuk Lyra lupakan begitu saja. Semua memori itu akan ia simpan di dalam otaknya dengan rapi. Mungkin hal ini akan menjadi salah satu pengalaman terhebat bagi seorang Nailyra Olivia Masayu Deandra di usia muda.
"Lyra." Panggilan dari Ervin membuat pemilik nama membuka mata, lantas mengelih secara perlahan ke sumber suara.
"Kamu tidur?" tanya Ervin yang dibalas gelengan oleh Lyra.
"Aku cuma ...." Gadis yang masih menyandang status sebagai pelajar SMA itu menegakkan tubuhnya. "lelah aja, Vin."
Ervin tersenyum tipis. Sepertinya ia paham dengan apa yang sedang Lyra rasakan. Laki-laki berusia dua puluh tahun itu berujar, "Lelah boleh, menyerah jangan, ya."
Lyra mengangguk paham. "Karena itu sudah menjadi keputusanku."
"Good," balas Ervin memberi apresiasi.
Lyra merotasikan kepalanya ke segala penjuru ruangan yang ia tempati. Tempat yang menjadi markasnya para intelijen ini terasa tenang. Di sini tidak ada hiruk pikuk seperti instansi pemerintah lainnnya karena BIN hanya melayani Single Client, yaitu presiden, bukan Public Service. Ada kesan tersendiri bagi Lyra karena dapat menapakkan kaki di tempat ini.
Seketika terbesit dalam pikiran Lyra untuk menjelajahi bangunan yang berdiri kokoh di Jl. Seno Raya, Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini. Pasti banyak hal menarik yang dapat ia temukan di sini. Kesempatan yang terbilang langka ini kecil kemungkinan untuk datang dua kali. Jadi, Lyra tidak mau menyia-nyiakannya.
"Vin, kita keliling, yuk!" ajak Lyra seraya bangkit dari duduk.
"Keliling?" Ervin mengangkat salah satu alisnya.
Lyra mengangguk sambil menjawab. "Iya."
"Katanya capek?" selidik Ervin.
"Udah nggak," ucap Lyra terlihat mantap.
"Aku pengen lihat-lihat di tempat seluas ini ada apa aja," ungkap Lyra.
"Kamu istirahat aja, Ly," tutur Ervin lembut.
"Nggak mau. Pokoknya aku mau keliling!" kekuh Lyra seperti anak kecil yang tidak ingin permintaannya ditolak.
Ervin mengembuskan napas pelan. Gadis ini memang keras kepala. "Hmm ... ya udah, deh." Akhirnya Ervin mengiyakan ajakan Lyra hingga membuat gadis itu tersenyum senang.
Lyra dan Ervin pun melangkahkan kaki mereka untuk menyusuri blok perkantoran yang memiliki luas sembilan hektar. Terdapat sejumlah gedung bertingkat yang dirancang dengan apik. Gedung-gedung itu dibangun dengan mempertimbangkan konsep lingkungan. Keasrian lingkungan di sini begitu diperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra's Secret Mission (End)
Misterio / SuspensoDi zaman sekarang, rasa nasionalisme anak muda hanyalah sebatas ucapan tanpa tindakan. Berucap mudah, tapi sulit untuk bertindak. Terlebih di zaman modern seperti ini, budaya negara lain jauh lebih menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Nailyra Ol...