By: Salsa Najila
Setelah menghabiskan waktu yang tidak sebentar dan sempat mengalami sebuah peristiwa tak terduga, akhirnya bus yang membawa siswa siswi kelas 12 IPA sampai di tempat tujuan.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Setelah mendapat instruksi dari sang guru, satu persatu siswa mulai turun dari bus.
“Ingat, ya, tetap bersama-sama, bersikap baik dan ikuti peraturan yang sudah ditetapkan.” Wejangan itu dilontarkan oleh seorang laki-laki separuh baya sebagai seorang guru dan juga yang bertanggung jawab atas ini.
“Baik, Pak.”
Mereka semua mulai memasuki halaman museum, semuanya menatap takjub pada bangunan yang ada di depan mata.
“Waw ....” Lyra bergumam, gadis itu sampai mendongak agar bisa melihat museum itu secara keseluruhan.
Bangunan putih yang dipadukan dengan warna kuning lalu dihiasi dengan beberapa bendera merah putih menambah kesan megah, terlihat sederhana namun elegan.
Lyra melangkah pelan seraya melemparkan pandangannya ke sekelilingnya. Lalu tiba-tiba, Lyra dikagetkan oleh suara laki-laki di belakangnya.
“Sudah pernah ke sini sebelumnya?” tanyanya.
Lyra memutar tubuhnya ke belakang, menatap sang empunya suara, kemudian gadis itu menghembuskan napasnya dan berkata, “Pak Ken ....”
“Maaf membuatmu kaget.”
Lyra tersenyum, kemudian mengangguk. “Belum, Pak, ini pertama kalinya.” Lyra berkata seraya kembali melangkah, diikuti Ken lalu berakhir dengan mereka yang berjalan beriringan.
Netra Lyra mengarah pada sosok lelaki yang sepertinya bertugas untuk menyambut pengunjung, lelaki itu tersenyum ramah.
“Dari sekolah mana ini?” tanyanya, dengan masih mempertahankan lengkungan di bibirnya.
“SMA Bintang Biru.” Ken yang menjawab.
“Ruang yang tengah kita pijaki ini adalah ruang utama, ruang ini dahulunya digunakan sebagai ruang diplomasi antara Indonesia dan Belanda pasca kemerdekaan RI.” Lelaki yang tadi sempat menyambut kedatangan siswa siswi SMA Bintang Biru mulai menjelaskan sejarah-sejarah yang ada di museum ini.
Lyra mendengarkan dengan seksama, sesekali menuliskan yang menurutnya penting di buku yang sedari tadi ia bawa.
“Untuk yang lainnya, silakan kalian kelilingi museum ini, boleh juga mengabadikan benda-benda sejarah dengan ponsel kalian. Terima kasih.” Lelaki itu menganggukkan kepalanya dan mengatupkan kedua telapak tangan sebagai rasa hormat.
Lyra mulai mengelilingi setiap sudut museum, langkahnya membawa gadis itu ke sebuah ruangan di sisi kiri pintu masuk.
“Waw ....” Lyra lagi-lagi bergumam takjub, di dalam ruangan tersebut terdapat sebuah meja dan kursi tamu dan juga meja makan.
Ada hal yang membuat Lyra takjub, terdapat tiga buah patung sosok pahlawan yang terlihat tengah berembuk.
“Kamu tahu siapa tiga sosok ini?” Lagi-lagi Lyra dikejutkan oleh suara yang kini sudah tak asing di telinganya. Ken.
“Em, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo.” Lyra berkata seraya menunjuk satu per satu patung yang tengah duduk berkumpul itu.
“Tidak sopan, hanya menyebut nama.” Ken menggelengkan kepalanya pelan.
Refleks Lyra mengatupkan bibirnya dan menutupinya dengan telapak tangan. Kemudian terkekeh.
Lalu, tatapan keduanya sama-sama mengarah pada benda yang terpajang tak jauh dari ketiga patung itu.
“Naskah proklamasi.” Lyra bergumam seraya berjalan mendekati benda bersejarah tersebut.
“Ini naskah proklamasi asli, kan, Pak?” tanya Lyra, gadis itu menatap sekilas lelaki berperawakan tinggi itu.
“Iya, naskah ini ditulis oleh Pak Soekarno sendiri.”
“Aaa, seneng banget bisa liat secara langsung.” Lyra berseru.
“Pak, kita keliling museum lagi, pasti masih banyak benda-benda bersejarah yang tidak boleh kita lewatkan.” Ken mengangguk, kemudian keduanya melangkah pergi dari ruangan itu, tanpa Lyra sadari ternyata ada beberapa temannya yang berada di ruangan yang sama.
“Yah ... lupa,” ucap Lyra, gadis itu menepuk dahinya sendiri.
Ken yang melihatnya itu menatap heran pada Lyra. “Kenapa?” tanya Ken.
“Lupa belum foto naskah proklamasi tadi.” Lyra berhenti di anak tangga yang entah ke berapa, Ken ikut berhenti meski ia berada di atas Lyra.
“Nanti ke sana lagi, tanggung.” Ken kembali berjalan.
Selesai menaiki tangga menuju lantai dua, Ken berhenti kemudian bersedekap dan berkata, “Sayang, rasa bela negara anak zaman sekarang sangat rendah.”
Lyra menatap Ken, kemudian menimpali perkataan lelaki itu, “Siapa?”
Ken memutar tubuhnya menatap Lyra, kemudian berkata, “Ya, anak muda. Mungkin kamu juga.”
Lyra menggelengkan kepalanya, karena merasa 'tidak seperti itu'.
“Aku tidak merasa seperti itu.” Lyra menyanggah. “Tapi kebanyakan mungkin seperti itu. Mungkin mereka pikir cara menunjukkan rasa bela negara itu dengan ikut perang. Sedangkan sekarang, Indonesia sudah merdeka dan mereka yang tidak tahu diri, akan cuek saja dengan negara sendiri.” Begitu pandangan Lyra.
“Rasa bela negara itu bukan hanya ikut perang, bisa juga dengan rajin belajar untuk pelajar, tapi mungkin anak-anak sekarang lebih banyak sering bermalas-malasan dan banyak main. Itu yang tidak saya suka,” ucap Ken, lelaki itu menghembuskan napasnya seraya menatap ke langit-langit.
“Yang harus lebih ditingkatkan daripada belajar itu adalah sikap toleran, karena masih banyak anak muda yang sering mem-bully hanya karena berbeda, padahal jika mereka meningkatkan sikap toleransi itu juga termasuk bela negara.” Lelaki itu kembali melontarkan banyak kata, Lyra diam, gadis itu mencerna setiap kata dan kalimat yang didengar.
“Lihat,” ucap Ken, lelaki itu mengarahkan telunjuknya pada beberapa siswa yang tengah sibuk memotret. Ken melanjutkan, “Mereka hanya mau mengabadikan benda-benda itu tanpa mau mengetahui sejarah yang terkandung di benda tersebut, padahal alasan semua ini di pajang di sini, di simpan di museum karena sejarah yang terkandung di dalamnya, bukan keindahannya. Kamu mengerti, Lyra?”
Lyra mengangguk pelan.
“Em, kalau tidak salah, museum ini asalnya rumah, kan, Pak? Bukan memang sengaja dibangun untuk sebuah museum,” tanya Lyra.
Ken tersenyum takjub atas pertanyaan Lyra, lelaki itu tak menyangka bahwa gadis di depannya akan mengetahui sejarah museum ini.
“Kamu tahu? Museum ini asalnya adalah rumah dari jenderal berkebangsaan Jepang. Pemiliknya adalah Laksamana Tadashi Maeda.”
“Nah, iya, iya, saya hanya ingat Maeda saja.” Lyra tertawa pelan seraya menggaruk kepalanya yang tiba-tiba.
“Eh, tunggu. Aku sedang bertanya dengan guru Matematika, kan? Tapi rasanya seperti sedang bertanya pada guru Sejarah. Bapak tahu banget” Lyra kembali tertawa.
“Saya akan merasa malu jika mengaku pada orang bahwa saya warna negara Indonesia tapi tidak tahu sejarah Indonesia. Maka dari itu, saya belajar mengetahui. Pentingnya pengetahuan itu, ya, itu.”
“Aku merasa bangga karena memiliki guru seperti bapak.” Lyra tersenyum menatap Ken, kemudian gadis itu teringat sesuatu.
“Pak, aku ingin ke lantai bawah dulu, ada yang belum aku abadikan dalam foto.”
▪︎▪︎▪︎
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra's Secret Mission (End)
Misteri / ThrillerDi zaman sekarang, rasa nasionalisme anak muda hanyalah sebatas ucapan tanpa tindakan. Berucap mudah, tapi sulit untuk bertindak. Terlebih di zaman modern seperti ini, budaya negara lain jauh lebih menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Nailyra Ol...