By: Ania
SMA Bintang Biru telah mengadakan study tour bagi kelas dua belas dalam menyambut bulan kemerdekaan. Bukan Bintang Biru namanya jika tidak memboyong para siswanya ke tempat bersejarah dan penuh ilmu pengetahuan. Cara sekolah itu mendidik para siswanya selalu mempunyai banyak variasi, sehingga para siswa dan siswi berprestasi pun menjamur untuk mengharumkan nama sekolah.
Wajah excited seorang Lyra yang notabenenya masuk ke dalam kategori siswi berprestasi itu terlihat jelas, di kala mendengar mengenai tempat tujuan tour tersebut. Katanya, mereka akan ke Museum Indonesia. Sebelum keberangkatan mereka ke tempat tujuan. Masing-masing ketua kelas diberikan tugas oleh ketua OSIS untuk mengabsen siswa sebelum memasuki bus.
"Abil Lukman?" Lyra berseru seraya mengedarkan pandangan untuk melihat tangan si empunya nama terangkat. Namun, tidak ada yang menanggapi seruannya. "Abil di mana? Yang namanya Abil tolong pasang telinganya!"
"Woi, Abil! Ibu kos manggil nama lo!" Sebuah teriakan dari para siswa bagian belakang terdengar.
Setelah itu terangkatlah tangan si empunya nama sembari menghampiri Lyra yang ada di depan pintu bus. "Gua di sini," katanya.
Lyra memicingkan mata. Lalu ia mengambil sesuatu di dalam saku jaketnya, dan diberikan kepada siswa bernama Abil tersebut. "Dipakai, ya."
"Korek kuping?" Abil menatap heran sembari mengacungkan satu biji korek kuping. "Bercanda lo seru juga. Makasih banyak, Sist!"
Lyra tersenyum kalem dan mempersilahkan dia memasuki bus. Tak sia-sia Lyra membeli korek kuping tadi di warung depan sekolah.
▪︎▪︎▪︎Beberapa mobil bus yang mengangkut para siswa dan siswi kelas dua belas itu mulai meninggalkan parkiran sekolah. Sebagai ketua kelas yang baik dan tidak meninggalkan tanggung jawab, Lyra susah payah mengatur duduk para siswa yang bandel ingin di bagian belakang semua. Sampai akhirnya, kesabaran Lyra terbayar dengan luluhnya mereka terhadap perintahnya.
Lyra bisa duduk dengan tenang di kursi depan, dekat dengan deretan kursi para guru. Memang masing-masing bus ditempatkan beberapa guru sebagai pembina, termasuk wali kelas mereka. "Beres juga, saatnya me time." Lyra terkekeh sendiri dengan pelan sembari mengeluarkan selembar kertas.
"Mau ngapain, lu?" Claudya, orang yang selalu menjadi teman sebangku Lyra itu mulai bertingkah kepo.
"Writing a travel list," sahut Lyra. Tatapan dan jemarinya fokus pada lembaran yang hanya beralaskan sebuah buku. Claudya memicingkan mata. "Padahal di museum gak ada yang menarik, deh."
Lyra menatap teman sekelasnya itu menyepelekan. "I don't care what you think."
"Elah, so inggris banget lo."
Hanya tawa yang menjadi tanggapan Lyra. Lagi pun siapa yang menyuruh untuk tahu apa yang ingin Lyra lakukan."My list, melihat bendera pertama Indonesia, naskah proklamasi yang asli ...."
"Hei!" Sempontan Lyra berseru seraya menoleh ke arah belakang kursinya. Ternyata orang yang membaca dengan sembunyi-sembunyi list miliknya adalah pak Ken, si guru baru.
Ken terkekeh ringan. "Maafkan saya yang telah lancang." Lyra tak berani untuk mengajak debat seorang guru, karena sopan santun mestilah dijunjung tinggi.
"Kenapa kamu membuat daftar perjalanan?" tanya Ken.
"Agar tidak bingung ketika menjelajahi museum. Karena tidak mungkin aku melihat satu persatu benda bersejarah yang begitu banyak," jelas Lyra.
Ken mengangguk pelan. Ia menatap lurus beberapa detik, wajahnya terlihat resa. "Sendari tadi saya merasa khawatir akan sesuatu, apa kamu merasakan yang sama?"
Lyra menatap gurunya itu dengan raut bingung. "Biasa saja. Memang apa yang membuat bapak khawatir?"
"Entahlah. Seperti ada yang ingin mengacaukan perjalanan menuju museum ini."
"Ah, mungkin hanya perasaan bapak saja. Santai saja, Pak." Lyra tersenyum tipis dan kembali melanjutkan kegiatan menulis daftar perjalanannya.
Satu menit berikutnya, kegiatan Lyra seketika terhenti oleh sesuatu.
Prang!
Sebuah batu ukuran genggaman tangan terlempar dari luar bus, sehingga membuat bagian sisi kaca bus pecah. Semua murid yang ada di dalam bus panik, bahkan ada satu orang guru yang terkena serpihan kaca di tangannya.
"Ternyata ini yang saya khawatirkan sendari tadi," gumam Ken yang terdengar oleh Lyra.
Lyra menatap Ken tak percaya, bagaimana bisa sebuah perasaan khawatir itu menjadi nyata. Ken balik menatap Lyra dan mengedikan bahu, "Tidak ada yang tahu kapan sebuah masalah akan terjadi."
Detik berikutnya Ken beserta salah satu anak PMR yang ada di sana memberikan pertolongan pada guru yang terluka. Sementara Lyra dan guru yang lain menenangkan para siswa yang panik. Mereka masih bisa bernafas lega karena sang sopir bus tidak terganggu fokusnya oleh lemparan itu. Jika sekali saja terganggu, mungkin lain ceritanya.
"Teman-teman, harap tenang, ya. Semua baik-baik saja. Kita akan sampai ke tempat tujuan dengan selamat." Lyra meninggikan suaranya.
"Lyra, kendalikan teman-temanmu dahulu, ya. Ibu akan menghubungi panitia di bus lain tentang hal ini," titah Bu Retno, sang wali kelas.
Lyra mengangguk patuh. Ia sungguh tak menyangka hal ini terjadi. Tentu saja ini akan menambah pekerjaan Lyra, yaitu harus menenangkan para siswa sekelasnya, karena rata-rata penghuni kelas 12 IPA 2 itu terlalu berlebihan menghadapi sesuatu.
Perjalanan tetap dilanjutkan, sebab hanya bus kelas Lyra lah yang tertinggal jauh di belakang. Mereka harus sampai ke museum sesuai jadwal rombongan SMA Bintang Biru.
“Sekarang kamu percaya terhadap prasangka saya?” Tiba-tiba Ken berucap pelan di samping Lyra, ketika gadis itu masih menenangkan para siswa.
Lyra menatap dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Sebab, Lyra sendiri masih tak menyangka. Terlintas sebuah pertanyaan di hati Lyra mengenai sosok Ken. “Apa dia seorang peramal?”
Tidak ada yang tahu soal siapa dalang di balik kejadian pelemparan batu yang tiba-tiba ini.
▪︎▪︎▪︎TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra's Secret Mission (End)
Misteri / ThrillerDi zaman sekarang, rasa nasionalisme anak muda hanyalah sebatas ucapan tanpa tindakan. Berucap mudah, tapi sulit untuk bertindak. Terlebih di zaman modern seperti ini, budaya negara lain jauh lebih menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Nailyra Ol...