By: Firma
Ken mengerang. Rasa kaget dan sakit mendominasi tubuhnya, terutama di bagian rusuk kiri, terasa ngilu dan sedikit sesak. Ia menggulirkan bola mata, sampai pandangannya menangkap sosok Lyra dengan mulut dilakban. Gadis itu nyaris menangis, netranya berkaca-kaca hampir menurunkan air mata.
Sampai akhirnya ....
Bug!
Satu pukulan mengenai rusuk kanan Ken. Pria itu kembali mengerang. Rasa sakitnya bertubi-tubi membuat deru napasnya sedikit terhambat.
Bug!
Satu pukulan lagi mengenai bahu kanannya. Darah mengalir menembus pakaian yang digunakan. Melihat itu, Lyra menjerit di balik lakban. Seolah berkata jangan siksa Ken. Ia dapat melihat tubuh Ken yang semakin melemah, raut wajahnya tampak menahan rasa sakit yang amat menyiksa.
Bug!
Sebuah bogem mentah mengenai pipi kiri Ken. Bekasnya membiru, tampak lebam dan pasti menyakitkan. Lyra tak sanggup melihat Ken disiksa sampai-sampai bulir bening air matanya turun mengalir menetesi pipi. Gadis itu menatap Rangga penuh emosi. Rasa kesal dan amarahnya semakin menggebu-gebu.
“Hmm ... hmm ... hmm!” Lyra berteriak, meski mulutnya dilakban. Berharap Rangga menghentikan siksaannya terhadap Ken. Namun, dengan sifat kejam dan bengis, Rangga sudah pasti tak memedulikan sekeras apa dan semarah apa Lyra padanya. Menyiksa Ken seakan menjadi hiburan.
Rangga mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Menggerakkan mata pisau itu tepat di depan netra Ken dengan gerakan menurun. Senyumnya tampak mengerikan. Lalu, ia menggerakkan pisau itu mendekat ke kening Ken, semakin dekat, memotong jarak 1 cm, sampai menempel di kulit kening Ken.
Lyra memberontak kuat. Rasa kasihan dan khawatir bercampur aduk. Ia menggerakkan tangan yang terikat secara acak, berharap ada cara untuk melepas ikatan tali itu. Terus memberontak hingga peluh membanjiri wajahnya.
“Hmm ... hmm ... hmm!”
Jeritan tanpa kata itu menarik perhatian Rangga.
“Ada apa gadis cantik? Kau takut kekasihmu ini semakin tersiksa? Hm?”
“Hmm .... hmm!”
“Hm? Oh maaf, aku tak mengerti bahasa barumu itu,” ucap Rangga, lalu tertawa terbahak-bahak penuh rasa puas.
Lantas, ia kembali kepada Ken. Mengarahkan pisau lipat itu, lagi. Tapi, kali ini di kening dekat alis. Senyum miring terbit di bibir itu. Lyra memberontak semakin kuat. Kakinya menendang-nendang ke depan, kepalanya tertoleh ke kanan dan kiri, terlalu memberontak sampai-sampai napasnya terasa berat.
Srek!
Satu goresan selebar kurang lebih 5 cm di kening Ken. Darah kembali mengalir. Keadaan Ken benar-benar memprihatinkan. Lyra semakin tak tahan. Ia memberontak semakin kuat hingga gadis itu merasa ikatan tangannya sedikit melonggar.
“Ah, kesempatan emas!” jeritnya dalam hati.
Lyra menggesekkan kedua tangannya, menabrakkan ikatan tali itu ke bagian belakang sisi kanan, mendorong kedua tangannya bergantian. Sedikit penuh perjuangan karena cukup sulit.
“Oh, ayolah.”
Ia tak menyerah. Perlakuan yang sama terus dilakukan hingga Lyra merasa ikatannya menjadi benar-benar longgar. Sementara Rangga sudah melayangkan satu pukulan kepada Ken. Ambisi Lyra melepas ikatan semakin menggebu-gebu. Ia mendorong kedua tangannya bergantian sampai ikatan itu sangat longgar.
“Berhasil!”
Lyra membebaskan tangannya dari ikatan tali. Tapi, ia berpura-pura masih terikat, agar tak ketahuan sudah bebas. Ia memutar otak, mencoba mencari senjata atau apa pun yang bisa ia pakai. Hingga ia benar-benar tersenyum puas melihat sebuah pistol tergeletak tanpa tuan. Ia menunggu kesempatan Rangga lengah.
Sampai akhirnya ...
Dor!
Gerakan gesit nan cepat Lyra membuat peluru bersarang di bahu kanan Rangga. Darah mengucur deras. Rangga mengejang kesakitan, merintih menahan rasa ngilu di bahu kanannya. Sementara Lyra membuka lakban mulutnya, lantas mendekat ke Rangga yang tergeletak dengan kucuran darah.
Ia merebut gulungan naskah yang selama ini ia cari-cari. Rasa bahagia membuncah dari lubuk hati, tapi tidak Lyra ekspresikan.
“Sekuat apa pun kau sembunyikan, naskah ini tak akan pernah jatuh di tangan orang yang salah,” ejek Lyra seraya menatap Rangga.
Melihat naskah itu sudah berada di tangan Lyra, Roy dan Ronald berjalan mendekat, mencoba merebut kembali. Namun, Lyra dengan gesitnya mengarahkan pistol ke arah dua laki-laki itu.
“Mencoba mendekat, maka kalian akan bernasib sama seperti Rangga!” ancamnya tegas.
Roy dan Ronald menciut. Keduanya masih sayang nyawa. Jadi, mereka saling berkontak mata, lalu lari kencang tanpa aba-aba. Lyra sedikit terkejut. Gadis itu tanpa rencana menembak kaki keduanya, membuat Roy dan Ronald berjalan pincang meski darah mengucur deras.
Lyra mendekat ke arah Ken. Ia melepaskan ikatan tangan dan lakban di mulut Ken. Ia menatap Ken khawatir, terlebih dengan darah yang mengucur deras dari luka sayatan di keningnya.
“Kamu tidak apa-apa, Lyra?”
“Seharusnya aku yang bertanya demikian. Bapak tidak apa-apa? Banyak darah yang mengalir, kalau dibiarkan Bapak bisa kekurangan darah.” Air mata kekhawatiran mengalir dari netranya. Lyra menatap miris luka-luka di tubuh Ken.
“Saya tidak apa-apa, Lyra. Ngomong-ngomong, aksimu menembak dan merebut naskah tadi sangat hebat. Gerakanmu gesit banget, ya. Pasti karena mengkhawatirkan saya, kan?” Ken tertawa kecil.
“Dih, kepedean!” Ia menghapus bulir bening itu dari pipinya.
“Ngaku saja kamu, Lyra.”
Lyra mengabaikan perkataan itu. “Pak, luka Bapak semakin parah, harua segera diobati. Ayo kita pergi dari sini dan mencari obat!”
“Tidak. Tinggalkan saya di sini.”
“Bapak gila?! Luka Bapak terlalu parah, bahaya kalau dibiarkan!”
“Pergilah ke BIN dan amankan naskah itu secepatnya, Lyra,” titah Ken terdengar mutlak.
Lyra menjadi gelisah. Ia ingin segera menuju BIN dan memberikan naskah itu, tapi ia juga tidak tega meninggalkan Ken sendirian dengan luka-luka yang sangat parah. Sekuat apa pun ambisinya, rasa manusiawi Lyra tidak luntur. Meninggalkan Ken dalam keadaan mengenaskan bukanlah pilihan yang baik.
Tapi, ia juga harus pergi ke BIN dan mengamankan naskah.
Ken yang paham atas perasaan Lyra sekarang mencoba meyakinkan. “Pergilah, Lyra. Naskah itu lebih penting dari apa pun.”
“Lalu, Bapak bagaimana?”
“Saya akan berjalan sendiri mencari obat. Saya bisa, Lyra. Percayalah.”
Lyra memejamkan mata, mencoba meyakinkan diri. Berharap keputusannya ini tidak salah.
“Oke, aku pergi. Bapak hati-hati dan jaga diri, ya.”
“Pasti.”
Lantas, dengan keyakinan hati yang tinggi, Lyra pergi meninggalkan Ken. Ia berharap, semua baik-baik saja.
▪︎▪︎▪︎
12, November 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Lyra's Secret Mission (End)
Misterio / SuspensoDi zaman sekarang, rasa nasionalisme anak muda hanyalah sebatas ucapan tanpa tindakan. Berucap mudah, tapi sulit untuk bertindak. Terlebih di zaman modern seperti ini, budaya negara lain jauh lebih menarik dan menyenangkan untuk diikuti. Nailyra Ol...