ciee kangen mbak wanda sama chandika~
Wanda hari ini libur kerja karena keadaan tubuhnya yang masih lemah. berulang kali di usap usap perutnya. pak agung memandang itu sedikit iba, padahal beliau pengen sekali bilang ke wanda kalau beliau sudah gagal menjaga wanda, ingin sekali beliau bilang pada wanda bahwa bapaknya ini benar benar tidak becus, tapi niat itu ia urungkan karena nggak mau wanda jadi sedih dan kepikiran, berdampak pada cucunya. "pak, sudah jangan di lihatin terus anaknya, bapak nggak kerja?," tanya bu fani mengelus pundak suaminya."iya bu, cuma mau mastiin wanda baik baik aja," jawab pak agung pelan.
"ibu juga salah harusnya lebih jagain wanda,"
"mereka itu kenapa sih bu, tinggal tunggu aja kan, kok bisa bisanya melakukan hal itu di luar pernikahan," pak agung masih tak habis pikir dengan pemikiran anak jaman sekarang. bukan pak agung malu sama tetangga, atau masyarakat desa, tapi gimana tanggung jawab dia sebagai ayah, merasa tercoreng. ayah mana yang suka anaknya hamil di luar nikah seperti ini walaupun chandika berjanji akan menikahi wanda.
tak lama setelah pembicaraan itu, pekarangan rumah pak agung ramai dengan beberapa mobil mewah. pak agung melihat dari jendela kamar wanda. lelaki seumuran dirinya dan perempuan seumuran sang istri itu turun dari mobil. bu fani dan pak agung langsung keluar dari kamar wanda. keduanya menghampiri tamu yang terlihat tergesa gesa, chandika juga keluar dari kamar jendra, karena laki laki itu memutuskan untuk se kamar dengan jendra agar bisa tetap memantau calon istrinya yang sedang hamil itu.
"chandika!," panggil sang papa sedikit keras. chandika mendekat, ia tau apa yang akan terjadi pada dirinya. makanya laki laki itu sama sekali tidak melawan.
plak! tamparan secara tiba tiba mendarat di pipi chandika. walaupun papanya chandika punya badan sedikit lebih pendek dari chandika, namun tetap saja, tamparan itu mengenai pipi dan rahang chandika membuatnya memerah, kontras dengan warna kulitnya.
"SADAR APA YANG KAMU LAKUKAN SAMA PEREMPUAN YANG SUDAH DIJAGA AYAHNYA?!,"
plak! tamparan kedua chandika sedikit terhuyung. bu fani yang melihat itu terkaget karena baru melihat chandika dihabisi seperti ini. mama chandika terlihat tetap tenang, seperti sudah biasa mendapati ini semua.
"PAPA TIDAK PERNAH AJARKAN KAMU KURANG AJAR DENGAN PEREMPUAN!," chandika masih diam hingga rahangnya menerima bogeman dari sang papa lagi. sudah biasa baginya menerima hal sekeras ini dari kecil. papanya memang menerapkan konsep pola asuh otoriter dan chandika baru merasa bebas setelah ia usaha dengan sendiri membangun dinastinya sendiri.
"bu, saya minta maaf atas perilaku anak saya yang kurang ajar dengan anak ibu, saya tidak membenarkan perilaku anak saya," ujar mama chandika mengenggam kedua tangan bu fani dengan penuh sesal. ya gimana, orang tua chandika pun menyadari bahwa jaman semakin maju, pun jalan pikiran semakin maju. sekarang nggak jaman untuk berkata "jaga anak gadismu" tapi jamannya "please, ajarin anakmu buat nggak berperilaku bejat sama orang lain" dengan penuh sesal mama chandika menunduk, ia ingin berlutut pada bu fani. namun ditahan oleh bu fani.
"pun anak gadis saya, juga melakukannya sama sama mau, saya tidak sepenuhnya menyalahkan anak ibu, ini diluar kuasa kita sebagai orang tua, saya pun meminta maaf kepada ibu dan bapak karena tingkah anak gadis saya," sebagai sama sama perempuan, dan seorang ibu, bu fani paham sekali apa yang dirasakan oleh mamanya chandika, bu fani juga punya jendra, makanya mungkin ia dan pak agung akan melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh orang tua chandika bila ini terjadi.
bug bug bug! bunyi chandika yang benar benar dihabisi oleh sang papa pun terdengar hingga kamar wanda. mendengar keributan di depan membuat wanda bangkit kemudian mengechek ada apa di depan sana.
dilihatnya chandika sedang dihabisi oleh calon ayah mertuanya. segera wanda berlari menghampiri calon suaminya. bisa mati apabila tidak di cegah, ujar wanda. perempuan itu dengan gesit memeluk tubuh calon suaminya yang terduduk tak berdaya. hingga satu pukulan mendarat di perut wanda. chandika berusaha melepas pelukan wanda karena takut wanda kenapa-kenapa. laki laki itu mendorong wanda hingga ia jatuh terduduk. "WANDA!," tak lama setelah itu, lagi dan lagi wanda tak sadarkan diri.
*****
"hikss— saya hikss nggak bakal maafin papa kalau wanda kenapa kenapa," tangis chandika pecah, layaknya seorang anak kecil yang kehilangan sesuatu yang berharga. baru kali ini papanya chandika melihat anak semata wayangnya menangis sesenggukan hingga hidung dan pipinya memerah.
pak agung sedari tadi terdiam, seakan mulutnya kelu untuk bicara, disana sang anak sedang di tangani dokter, sedangkan bu fani memeluk mama chandika. keduanya merasa salah karena lengah dengan keberadaan wanda. seharusnya bu fani tetap menjaga wanda, kata kata seandainya dan seharusnya dengan penuh penyesalan terus diucap oleh kedua ibu itu. "habisin chandika papa nggak apa, mau nonjok chandika tonjok aja pa, jangan wanda, nggak ada orang di dunia ini yang boleh nyelakain wanda, bikin wanda nangis!," chandika mengusap air matanya hingga pintu ruangan terbuka.
"maaf, dengan wali bu wanda?,"
"saya calon suaminya dok!," dokter tersebut mengangguk.
"benturan tadi keras sekali pak, dengan keadaan janin yang begitu lemah." dokter menjeda perkataannya.
"perut bu wanda lebam, dan kami meminta maaf, janin dalam kandungan bu wanda tidak bisa kami selamatkan, sehingga harus di kuret," chandika meremat rambutnya sendiri, ia jatuh terduduk, tak bisa menerima bahwa bayi yang tidak bersalah itu harus menanggung akibatnya.
"nggak dok, hikss.. janinnya masih bisa selamat kan??," tanya chandika dengan nada yang benar benar kalut.
"maaf pak," hanya itu yang bisa dokter sampaikan. sesungguhnya semua yang bernyawa itu akan kembali pada-Nya. karma, ah bukan. karma itu nggak ada. yang ada adalah hukum tanam tuai, apa yang di tanam maka itu yang di petik. dan mungkin ini adalah salah satu buah dari perbuatan chandika dulu bersama ambar, atau memang doa seseorang yang diijabah, kita nggak tau.
yang jelas ini plot by gua HAHAHAHAH - caca evil laugh😈😈
beberapa saat menunggu wanda siuman, chandika mencium tangan putih perempuannya dengan air mata yang mengalir. "hikss, bangun dong!, saya nggak bisa kalau nggak ada kamu," tangis chandika pilu. sedangkan para orang tua terlebih papa chandika merasa bersalah.
"papa puas kan?, chandika merasa bunuh anak chandika sendiri pa," ujar chandika.
"chan--,"
"mas chandika," panggil wanda lirih sekali. membuat chandika langsung memeluk perempuan itu. ya Allah, baru aja chandika bergumam dalam hati, masa iya nggak jadi nikah. kan chandika pengen nikah banget plis, udah nggak tahan.
"aduh mas," rintih wanda merasa nyeri karena jarum infusnya kesenggol badan besar chandika.
"maafin saya, maafin sayaa,"
"nggak apa apa mas, mungkin emanh belum rejeki," jawab wanda.
"hikss hikss, wandaaa~," bayi besar wanda itu memeluk wanda yang bau obat, menyisipkan kepalanya pada ceruk leher sang perempuan. tak peduli ada siapa di dalam ruangan.
"pak, bu, mama, papa, maafin wanda dan mas chandika yaa, kami salah karena sudah bikin kegaduhan kaya begini," sesal wanda. jujur saja perempuan itu ingin sekali menangis. ibu mana yang tidak menangis karena tidak becus menjaga bayi dalam kandungannya. perbuatan wanda dan chandika memang tak bisa di benarkan. namun bayi itu tak bersalah hingga harus menanggung semua dosa papa dan mamanya.
kayaknya mau end 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
BIDUAN - Wenyeol
Fanficwarn mature! (setiap part mature bakal aku kasih tanda) bocil polos/readers suceh jangan di mari ya bebih. lokal wenyeol Wanda Ayuni anak Pak Camat yang bekerja di kantor kelurahan, harus ketahuan sang ayah saat sedang nyambi jadi biduan. "Suara m...