23. Louvre dan Makna Tersembunyi

286 51 8
                                    

Tiga hari berlalu dan hidupku masih di titik yang sama, terbelenggu simpul rumit tanpa sedikit pun titik terang. Kalimat terakhir yang Pierre lontarkan hari itu serupa lonceng kematian, mengantarkanku pada ketakutan terbesar dalam hidup.

Aku takut pencarianku berujung pada luka. Aku takut kebenaran yang kugaungkan selama ini berkaitan erat dengan sisi lain dari orang-orang di sekitarku. Aku pun takut jika fakta yang kucari justru menjadi belati yang akan menikamku.

Dihadapkan pada situasi semacam ini, hanya ada satu keinginan dalam benakku ... berbagi cerita. Namun, pada siapa?

Zo? Keahliannya memang berguna, tapi wanita itu hanya akan memperkeruh suasana. Aksi penguntitan yang berujung penyerangan terhadapku waktu itu jadi pertanda bahwa pergerakannya telah terendus oleh Seigneur. Jika aku nekat melibatkannya, bukan tidak mungkin bahwa Zo yang akan menjadi korban selanjutnya.

Flo? Huh, wanita itu tak tahu menahu tentang kasus ini. Percuma jika berbagi beban dengannya. Apalagi, tabiatnya yang sering kali menghakimi dan terlalu rasional hanya akan menjebakku pada masalah baru.

Aimee? Wanita beriris hijau itu terlalu lembut untuk bersinggungan dengan teka-teki kelam kematian Dusan. Instingnya belum terasah. Sangat riskan jika ia harus berhadapan dengan pion-pion milik Seigneur. Alih-alih meringankan beban, justru penyesalan yang akan membekas dalam diriku jika melibatkannya.

Felix? Ya, harusnya aku berbagi dengannya. Menagih janjinya yang akan menjamin keselamatanku. Terlepas dari itu, Felix punya korelasi erat dengan kasus ini.

Akan tetapi, logikaku terus menolak. Firasatku berkata untuk tak menggantungkan harapan pada pria yang masih enggan bertukar sapa denganku sejak kembali dari tur menyusuri Seine beberapa hari lalu.

Atau ... Debora? Tentu bukan opsi terbaik. Meski sosok di hadapanku kini mampu membaca kegelisahanku, tapi hubungan kami tak sedekat itu untuk berbagi.

"Madame, Anda baik-baik saja?" Untuk ketiga kalinya, Debora melontarkan pertanyaan serupa.

"Hm, hanya sedikit kesal karena Flo belum membalas pesanku sejak kemarin." Aku tak sepenuhnya berdalih. Pesan terakhirku sejak kemarin sore memang belum Flo balas.

"Anda mau mampir setelah ini? Mumpung kita tidak jauh dari apartemen lamamu. Lagi pula masih ada waktu sekitar 1 jam sampai pemotretan Felix selesai dan wawancara dengan majalah Elle."

Seandainya bisa, sudah sejak tadi-bahkan sejak tiga hari lalu-aku bertandang ke apartemen lamaku daripada terjebak di Le Cafe Marly bersama Debora. Meskipun Louvre dan jejak-jejak sejarahnya mampu menghipnotis pengunjung kafe, tetapi tak sedikit pun keresahan dalam diriku terurai. Apalagi mengingat alasanku duduk di tempat ini adalah semata-mata untuk pencitraan. Rasanya aku benar-benar ingin memaki siapa pun yang mencetuskan ide untuk wawancara ekslusif bersama kami-aku dan Felix.

Aku menggeleng lemah. "Flo sedang ke luar negeri dan baru akan kembali besok siang. Sepertinya dia naik jabatan sampai Bibi Claire mengajaknya berkunjung ke Milan."

Sepi mendominasi meja yang kutempati. Debora kembali fokus pada chicken salad-nya setelah mengangguk paham. Sementara aku masih tak jemu mengaduk-aduk tomato basil penne pasta yang sisa setengah. Bukan sebab rasanya terlalu hambar, tetapi nafsu makanku turun drastis sejak tiga hari lalu.

"Sepertinya Anda benar-benar penggila kopi. Itu cangkir ketiga, 'kan?" Debora mengusik lamunanku, tepat ketika seorang pelayan kafe meletakkan cangkir keramik berwarna putih berisi espresso yang kupesan beberapa waktu lalu.

"Cangkir keempat, yang pertama kuminum saat sarapan," ralatku sebelum meraih cangkir, menghirup aromanya, lantas menyesapnya perlahan. Tak pernah berubah, kopi di kala resah serupa endorfin; menenangkan.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang