33. Yang Kita Lihat Hanyalah Cangkang

96 13 1
                                    

Portal berita Du Monde kembali seperti semula—tanpa ada tampilan foto Pierre dan ucapan duka di halaman utama. Sehebat apa pun pria itu, yang ditinggalkan harus melanjutkan hidup. Masih banyak kasus yang butuh eksposur agar tidak hilang begitu saja.

Champ Elysees, Arc de Triomphe, Jardin des Tuileries, hingga Pont Alexander III pun masih jadi spot terbaik untuk menikmati matahari tenggelam. Cahaya keemasan berbaur di antara padatnya jalanan Paris jadi suguhan terbaik untuk menyambut malam.

Aimee masih berkutat dengan buku-buku dan arsip yang dipindahkan ke ruangan baru. Flo kian sibuk di butik, sedangkan Zo tenggelam bersama rutinitasnya di kantor kepolisian.

Semua masih sama. Kecuali aku dengan kehidupan yang lambat. Ditengah kota yang seolah tak ada matinya, sepi menemaniku selama satu minggu terakhir. Tidak ada sapa, obrolan, maupun pertengkaran yang menggema. Unit apartemen di lantai teratas ini seakan kosong.

Pemiliknya selalu menghilang menjelang subuh, padahal baru menginjakkan kaki di tempat ini ketika tengah malam. Aku tidak tahu apa kesibukan Felix belakangan ini. Sebab ia membentang jarak.

Alih-alih kamar utama, ruangan yang selama ini tak boleh aku akses menjadi tempat persembunyiannya. Demi mendapati sosoknya, aku rela mengorbankan waktu tidur dengan mengkhatamkan buku-buku jurnalistik. Kecintaan pada profesiku masih belum luntur. Hanya menunggu waktu untuk benar-benar yakin kembali pada rutinitas yang telah kujalani hampir empat tahun ini.

Seiring jarum jam yang bergerak, mataku terfokus pada tulisan, tetapi tidak dengan telingaku. Sebisa mungkin aku tidak ingin melewatkan suara sekecil apa pun, termasuk langkah kakinya yang terdengar di apartemen setiap menjelang tengah malam. Namun, pergerakanku kalah cepat. Pintu ruangan sebelah sudah kembali tertutup rapat saat aku baru menyembulkan kepala. Pun ketika subuh, di mana aku hanya mampu menatap kepergiannya dari balik jendela kamar.

Terlalu bodoh bila aku berharap ia berhenti sejenak lalu menoleh ke atas menatap unit apartemen kami. Faktanya, Felix berlalu begitu saja bersama Stannes, membelah jalanan Paris yang mayoritas lengang.

Aku benar-benar awam perihal Felix dan kehidupannya belakangan ini. Tempat mana yang mereka datangi dan siapa yang ditemuinya tidak sedikitpun aku tahu. Bahkan puluhan pesan yang aku kirimkan tidak pernah ia buka.

Berwujud tapi tak terlihat. Hadir tapi tak dianggap. Rasanya benar-benar menyesakkan. Bukan masalah besar bila itu terjadi di awal pernikahan kami. Bentengku masih kelewat kokoh, hingga mustahil untuk merisaukan pria itu. Jauh berbeda dengan saat ini. Aku terlanjur jatuh dalam pesonanya. Terlanjur mengaku kalah dalam permainan simbiosis mutualisme yang sejak awal aku tahu tidak akan mudah.

Di ujung kegundahan yang menyelimuti selama delapan hari pasca kepulangan dari Les Lilas, di sinilah aku berada, ruang tengah apartemen Stannes. Ego yang setinggi langit lenyap tak tersisa sedikit pun ketika aku memutuskan untuk menemui Debora. Peran wanita tua itu terlalu penting dalam hidup Felix. Dia lebih paham sepak terjang sang model dibanding aku, istrinya.

Akan tetapi, berurusan dengan Felix dan orang-orangnya bukanlah perkara mudah. Kesabaranku benar-benar diuji ketika gurat wajah Debora menyimpan ekspresi meremehkan. Sialan. Kalau bukan karena vampir gila itu marah, aku tidak akan sudi berdamai dengan wanita di hadapanku yang masih bungkam sejak 10 menit lalu. Buang-buang waktu saja.

"Debora."

"Madame."

Aku menghela napas panjang ketika kami hampir bersamaan mengeluarkan suara. Berbeda dari sebelum-sebelumnya yang enggan kalah, aku memilih mengurungkan niat untuk melanjutkan kalimat. Biarkan wanita tua itu menyelesaikannya dan aku akan jadi pendengar hari ini.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang