36. Gargoyle dan Salam Perpisahan

102 9 2
                                    

Katedral Notre Dame bukan hanya simbol keindahan Kota Paris. Sebagai situs bersejarah, kehadirannya menjadi saksi revolusi Perancis. Dari sisi spiritual, Katedral Notre Dame diyakini menjaga kota dari kehancuran. Bukan sekadar isapan jempol, keyakinan itu diwujudkan dalam berbagai simbol. Salah satunya lewat kehadiran gargoyle di atap menara.

Patung drainase berbentuk setengah manusia dan makhluk mitologi disebut-sebut berperan menjauhkan iblis dan roh jahat. Wujudnya sedikit menyeramkan, tapi gargoyle pula yang menemaniku usai menyelinap melewati 422 anak tangga yang berkelok hanya untuk memuaskan rasa penasaranku.

Ya, pada akhirnya aku menyerah di malam ke-5. Tak ada gemuruh, dentuman, ataupun derap langkah yang memburu di atap. Suasana terlalu tenang untuk sebuah invasi, hingga tanpa sadar langkah kaki membawaku jauh pergi meninggalkan area utama katedral. Persis seperti pencuri yang mengendap-endap mencari jalan keluar.

Begitu menginjakkan kaki di atap menara utara, aku tak tahu harus berekspresi seperti apa. Ada rasa lega yang menelusup saat embusan angin malam menerbangkan rambutku. Setelah lima hari mendekam dalam ruangan tanpa akses untuk melihat dunia luar, akhirnya aku dapat menyaksikan kembali langit malam Kota Paris, Eiffel, Seine, dan landmark lainnya.

Namun di sisi lain, ada kekhawatiran sekaligus ketakutan. Peperangan antar klan belum usai. Makhluk bertaring itu bisa muncul kapan pun. Indra penciumannya yang berkali-kali lipat lebih tajam dapat mengendus darah manusia dari jarak puluhan meter. Dan aku di sini sendirian. Tanpa pengawalan. Seperti suasana kota yang lengang.

Paris yang molek. Paris yang bermandikan cahaya seakan kehilangan pesona. Paris benar-benar mirip kota mati. Padahal sebelumnya orang-orang rela membayar mahal untuk menikmati pemandangan dari spot ini. Mungkin seperti ini pula gambaran ketika umat manusia dibantai habis oleh Raimond dan kelompoknya. Sunyi. Landmark kota tak lagi dikagumi.

Aku menghela napas dengan berat membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tatapanku lantas menyisir setiap sudut yang terjangkau, mengabadikannya dalam ingatan, sembari mengeratkan mantel. Suhu udara malam ini terlampau dingin, terasa menggigit layaknya musim gugur.

"Kau benar-benar merepotkan dan tidak tahu diri, Corin Lafebvre!"

Tubuhku menegang saat suara bernada rendah dan tajam memecah keheningan. Secara reflek aku berbalik. Hidupku benar-benar berakhir jika musuh menemukanku. Beruntungnya, si rambut pirang yang muncul-dengan ekspresi tak bersahabat. Sorot matanya tajam, rahang mengeras, dan taring yang menyembul saat ia meringis tipis.

"Kau menakutinya, Drusilla. Santai sedikit, dia hanya ingin bermain-main dengan kita untuk menghilangkan kebosanan. Bukankah begitu, Madame?"

Mataku melebar mendapati perempuan berambut hitam muncul dari balik punggung Drusilla-si pirang. Suaranya penuh penekanan saat menyebut kata 'Madame'. Sementara parasnya yang teramat familier nampak sedikit menertawakan kekagetanku. Oh sial, ternyata dia salah satunya.

"Orang-orang yang kau temui setiap harinya, yang kau anggap rekan kerja, sebagian dari mereka bukanlah manusia. Felix sengaja menempatkannya untuk mengawasimu sambil bersenang-senang."

"Bianca."

Wanita itu, yang kukenal sebagai redaktur desk olahraga, mengubah ekspresi dalam hitungan detik. Seringaian konyol di wajahnya lenyap tak tersisa. Matanya menajam meski tak semengerikan Drusilla. Ia kemudian bergerak cepat, menghampiriku yang berdiri di ujung atap dekat gargoyle.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang