03. Avenue de Friedland

666 153 81
                                    

Beberapa saat berlalu tapi Pierre masih bertahan dengan bungkam. Sepasang matanya membingkaiku dalam tatapan tak terdefinisikan. Dan ini benar-benar menguji kesabaranku.

"Pierre."

"Tidak."

Suara kami keluar nyaris bersamaan. Jawaban Pierre berhasil membuatku membuang napas kesal. Nyatanya pria bercambang ini tidak semudah perkiraanku. Dia masih sama seperti biasa, berpendirian kuat dengan perhitungan cermat.

"Jangan membodohiku, Corin." Pierre melirik arlojinya lalu meraih notebook di meja. "Selesaikan skandal kencanmu tanpa menimbulkan masalah. Jika kau berhasil melakukannya, akan kupertimbangkan untuk membawamu kembali ke desk kriminal."

"Tunggu!" Lengan kiri Pierre kutahan saat berniat pergi. "Kau serius dengan ucapanmu? Kau benar-benar akan memberikanku posisi itu lagi?"

"Tentu saja," jawabnya singkat. Pierre mengedarkan mata, memeriksa setiap sudut, lalu merunduk, memangkas jarak antara kami. "Tapi, jika kau tidak bisa membereskan skandal kencanmu ... katakan selamat tinggal pada desk kriminal, Nona."

Aku mengulum senyum tertahan. Tekad dalam diriku kembali berkobar menjalari rongga dada dengan kehangatan yang tiada tara. Kecemasanku mulai reda meski hanya sedikit, hingga getaran ponsel di meja mengalihkan fokusku dari vanilla latte yang kembali kunikmati.

Tanpa menjauhkan cup, aku meraih ponsel. Pesan masuk dari informan di kantor polisi sukses membuatku tersedak.

"Felix tidak bisa memenuhi panggilan hari ini. Katanya, pemotretannya masih lama dan tidak bisa ditinggal."

Jemariku bergerak lincah, mengetik pesan pada Felix untuk mengajak pria itu berbincang empat mata. Semakin cepat masalah ini terselesaikan, semakin cepat pula aku kembali ke tempatku

🦇🦇🦇

Matahari condong ke barat ketika media masih saja berpesta di atas penderitaanku. Hal yang kurasa lebih krusial untuk dikawal, seperti hasil dari pemeriksaan atlet balap sepeda wanita—Rachaele Giroud—siang tadi justru luput dari pembahasan. Kalaupun ada, tidak begitu menjamur.

Justru skandal kencan tidak masuk akal antara aku dan Felix yang tidak henti-hentinya mereka bahas. Orang-orang ini sungguh tahu bagaimana caranya menaikkan rating siaran dan pembaca media online.

Aku mendengkus kasar sembari melempar ponsel dalam genggaman ke meja. Skandal kencan kami terhitung baru satu hari, tapi ada ratusan berita dari beragam media massa yang ada di Perancis. Tak ingin larut memikirkan berita, aku mengedarkan pandangan sejenak, sebelum arloji di pergelangan tangan kiri menjadi pusat atensi.

Ini sudah pukul 6, waktu yang disepakati Felix ketika pesan kukirimkan padanya siang tadi untuk bertemu. Aku pun sudah di sini, restoran Hotel Napoleon, tempat yang pria itu pilih. Namun, dia masih belum menampakkan batang hidungnya. Padahal pemotretan hanya di rooftop, apa susahnya untuk turun sebentar?

"Tunggu dia lima belas menit lagi," gumamku menenangkan diri sendiri.

Bosan menanti pria berahang tegas itu, pemandangan di luar sana membawaku berandai-andai sejenak waktu. Langit sore dan jalanan yang jika disusuri akan menyajikan pemandangan epic puncak menara Eiffel dan Arc de Triomphe mampu menyulap hari ini menjadi makan malam romantis—bila kami benar-benar dalam hubungan asmara. Namun .... "Corin! berhentilah memikirkan hal bodoh semacam itu."

Kembali dilanda kebosanan, jam di ponsel yang kini kuperiksa. Felix terlambat lima menit. "Lihat saja, akan kuhancurkan nama baikmu kalau kau tidak datang hari ini."

"Aku mendengarnya, Nona." Suara baritonnya menyapa tanpa permisi. Entah sejak kapan pria itu berdiri di samping kursiku.

"Syukurlah, berarti kau tidak tuli."

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang