19. Kabar Kematian

194 50 7
                                    

*fiuh* (buang napas, lap keringet). Akhirnya aku bisa nyapa kalian lagi.

Jangan lupa follow, vote, dan comment, ya, zheyenk.


*****

Jika ditanya, mengapa aku menggeluti profesi jurnalis, maka jawabanku hanya satu: ingin membuka mata dunia lewat informasi yang kutulis, lewat fakta yang kubeberkan. Sebab media massa tak hanya berperan sebagai penyampai berita, tapi juga agen perubahan.

Mungkin aku terkesan kolot. Disaat netralitas bisa saja goyah karena kepentingan pribadi, aku justru mengedepankannya. Disaat banyak orang menukar kebenaran dengan kenyamanan hidup, aku justru mengabdi untuknya. Membahayakan nyawa demi mengungkap kebenaran yang mungkin saja tak berpengaruh pada tatanan kehidupan masyarakat.

Seperti halnya kini. Mengabaikan peringatan yang Pierre layangkan kemarin, aku menyempatkan diri tuk berkunjung ke tahanan di pinggir kota. Dan di sinilah aku, duduk berhadapan dengan Rachaele yang sedari tadi menunduk.

Rasanya miris menatapnya berseragam tahanan. Paras cantiknya yang dulu berhias senyum lebar, kini nampak sayu. Rambutnya yang digulung dengan asal nampak tak terawat. Pun dengan jemarinya yang saling memilin.

Kondisi Rachaele saat ini mengingatkanku pada pesan yang Zo retas. Aku pun bertanya-tanya, benarkah Rachaele yang membunuhnya? Atau ia terpaksa mengaku lantaran rasa bersalahnya pada Dusan?

Aku menghela napas panjang sembari melirik arloji di pergelangan tangan. Nyaris dua menit kami berselimut sepi. Aku tak tahu harus memulai obrolan dari mana. Jujur, ada sedikit rasa iba menyaksikan Rachaele. Tapi, terlalu gengsi tuk menanyakan kabarnya sebab kami hanya orang asing. Situasinya berbeda dengan liputan.

"Bisakah aku mempercayaimu?" Rachaele membuka obrolan. Wajahnya mendongak, menatapku dengan pandangan kosong.

"Maksudmu?"

Rachaele kudapati menghela napas panjang. Tubuhnya beringsut mendekati meja yang memisahkan kami. Dengan kedua siku yang bertumpu di meja, kepalanya condong ke arahku.

"Bukankah kalian ingin tahu tentang kematian Dusan?" tanyanya sembari menatap id card yang mengalung di leherku.

"Hanya aku. Kasus Dusan diliput wartawan lain. Dan dia belum tentu tertarik untuk mengetahuinya secara detail."

Rachaele mendengkus. "Bukan kau dan Du Monde. Tapi, kau dan Felix. Kalian ingin tahu tentang kematian Dusan, bukan?"

"Bagaimana kau tahu?" tanyaku sembari mengerutkan alis.

Bukannya menjawab, Rachaele justru menundukkan kepala. Kedua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum tipis dengan makna yang tak terdefinisikan-entah miris, menyesal, atau apa, aku tak bisa menebaknya.

"Jadi, bisakah aku mempercayai-"

"Tentu," sahutku cepat, tak ingin menyia-siakan kesempatan.

"Off the record."

Mataku melebar, sementara bibirku terbuka tanpa suara. Jujur, aku kecewa. Pengakuan Rachaele bisa dijadikan bukti untuk Felix, sekaligus bahan untuk menulis ulasan. Meski tak meliput kasus Dusan, bukan berarti jalanku tertutup. Ada banyak celah tuk mengungkap kebusukan. Salah satunya dengan menulis feature tentang Dusan.

Tapi, Rachaele justru menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan agar pengakuannya tak dijadikan sumber berita. Dan mau tidak mau, aku harus mengalah daripada pulang dengan tangan kosong.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang