15. Absennya Pierre de la Cour

420 86 26
                                    

Paris masih terlelap dalam buaian sang fajar ketika sayup-sayup suara Felix menyapa rungu, memaksa sepasang netraku tuk jelajahi setiap jengkal kamar hanya untuk temukan sosoknya. Dari celah rak buku berwarna putih yang memisahkan ranjang dan meja kerja, Felix kudapati duduk di sofa panjang dekat jendela dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya.

Aku tidak tahu-dan tak ingin tahu-apa yang dia bahas dengan lawan bicaranya di telepon. Sebab wajah seriusnya menyita seluruh atensiku.

Dahinya, alis hitam tebal, mata tajam, hidung lancip, bibir mungil, dan rahang tegasnya. Tak salah jika seantero Perancis, bahkan dunia, mengelu-elukan ketampanannya. Tapi, bukan anggapan itu yang bersarang di benakku kini. Melainkan rasa simpati.

Dia memang rivalku sejak kami menempuh pendidikan di Lycee Saint-Louis karena menggeser posisiku di segala bidang-kecuali olahraga-hingga membuatku tak lagi menjadi bintang sekolah. Dia juga narasumber paling kubenci sepanjang karierku sebagai reporter. Sebab jawaban singkatnya yang sering kali bernada dingin selalu mematikan langkahku.

Dia memang musuh terbesarku saat dengan lancangnya masuk ke dalam hidupku. Mengusik ranah privasi hingga membuatku kehilangan posisi di desk kriminal. Dan dia memang orang paling picik yang menyeretku dalam hubungan mutualisme berkedok pernikahan, membuatku nekat mempertaruhkan masa depan.

Namun, dibalik segala stigma tentangnya, ada banyak rahasia yang mencengangkan. Juga kondisi yang jauh dari kata adil. Felix yang turun kasta dan Felix yang ditargetkan menjadi tersangka membuat rasa simpatiku muncul begitu saja.

Ah, sial. Kepalaku kembali berdenyut hebat ketika rangkaian peristiwa semalam berkelebat dalam ingatan. Sampai detik ini, aku masih berharap bahwa segalanya hanyalah mimpi. Namun, kehadiran Felix di teritoriku sepagi ini menjawab segala keraguan. Menyadarkanku bahwa sekali lagi, seorang Corin Lafebvre, menunjukkan sisi lemah saat dengan sialannya air mataku mengalir tanpa mampu dicegah.

Jika boleh jujur, aku kecewa. Bahkan sekalipun bukan Felix yang mereka incar, aku tetap akan murka. Karena Pierre bukan lagi Pierre yang kukenal.

Masih segar dalam ingatan bagaimana ia membakar semangatku di masa lalu hanya dengan satu kalimat sederhana, 'apa pun yang terjadi, seorang reporter harus berkawan dengan kebenaran'. Akan tetapi, setelah hampir empat tahun berlalu, segalanya hanyalah omong kosong.

Kebenaran yang begitu diagungkan ia ubah menjadi lawan. Ia kesampingkan. Juga ia permainkan. Apa semenarik itu bisa melihat Felix hancur? Sialan.

"Sudah puas menatapku, Madam?" Suara baritone milik Felix membawaku beranjak dari kenangan semalam. Aku lantas berpaling, mengedarkan tatapan secara acak saat tertangkap basah tengah mengamatinya.

"Jangan pernah tunjukkan ekspresi itu lagi di hadapanku," sambung Felix dengan nada yang tak kalah datar dari tadi.

Sepasang alisku mengernyit bingung. Sementara batinku sibuk bermonolog, atau lebih tepatnya melontarkan tanya retoris perihal ekspresi macam apa yang baru saja kutunjukkan.

"Raut wajah sendu dengan tatapan kasihan."

Tunggu dulu. Apa dia benar-benar bisa membaca pikiran? Sudah berapa kali-sejak kami terlibat-dia menjawab pertanyaan yang tidak kusuarakan? Tapi, benarkah seseorang di dunia nyata memiliki kemampuan luar biasa semacam itu? Dan jika benar Felix bisa membaca pikiran harusnya dia bisa tahu dalang dibalik kematian Dusan tanpa harus mengikatku dengan pernikahan bodoh semacam ini, 'kan?

Aku menghela napas panjang tanpa ada keinginan tuk menimpalinya. Rasanya terlalu lelah dengan semua yang kualami. Bahkan, aku seolah tak mampu mencerna satu per satu insiden yang kuhadapi. Semuanya terasa seperti mimpi, seperti tidak benar-benar terjadi.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang