13. Turun Kasta

451 105 26
                                    

"Masa kecilnya tidaklah mudah. Setelah kematian ayahnya, dia hidup secara nomaden bersama saudara dan ibunya. Bahkan ketika sudah menetap pun, mereka harus menjadi pelayan salah satu keluarga kaya di pinggiran Perancis. Anda pasti bisa membayangkan seperti apa rasanya, 'kan?"

"Tunggu dulu, bukankah kau bilang, dia masih keturunan bangsawan? Kenapa bisa turun kasta menjadi rakyat jelata?"

"Anda bisa bertanya langsung pada Felix, Madame. Bukan kapasitasku untuk bercerita sejauh itu."

Dua hari berlalu sejak fitting baju penganting bersama Debora, tapi sepenggal ceritanya masih terngiang di kepala. Berawal dari rasa ingin tahuku tentang masa kecil Felix, Debora justru membongkar satu rahasia yang tak pernah publik ketahui. Berulang kali terlibat dengannya selama liputan, tak sekalipun terlintas di pikiranku bahwa ia, si model papan atas yang parasnya menghiasi berbagai majalah fashion dunia adalah seorang keturunan bangsawan dengan kisah hidup yang cukup tragis.

Bugatti Chiron, Mercedes Benz, hingga Audi, kukira jajaran mobil mewah koleksinya diperoleh dari harta orangtua. Nyatanya, penilaian tak berdasar yang bersarang di kepalaku selama ini adalah penghakiman paling kejam untuk seseorang yang telah merasakan pahitnya kehidupan. Sungguh, jika boleh jujur, aku merasa malu pada sosoknya yang sudah dua hari ini tak nampak batang hidungnya.

"Corin, kau sudah tidur?" Suara Flo mengusik lamunanku.

"Belum. Masuklah."

Gadis dengan sweater cokelat susu itu berjalan mendekat, menghampiriku yang duduk memeluk lutut di atas ranjang.

"Ada apa, Flo?"

"Tidak." Flo menggeleng. "Felix tadi mencarimu."

"Felix?" Aku menjenjangkan leher, melongok ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka.

"Dia sudah pergi. Katanya hanya mampir sebelum pulang."

"Oh."

"Hey, ekspresi macam apa itu? Sepertinya kau sangat kecewa tidak bisa bertemu Felix," oloknya, "Ah, tahu begini aku menahannya pergi dan menyuruhnya menemuimu."

Bola mataku berotasi dengan muak. Meski tanpa permisi ada setitik kecewa yang menelusup begitu mendengar kabar kepulangannya, tapi percayalah, bukan berarti aku mengharapkan kehadiran Felix Francois. Aku hanya sekadar bersimpati sejak mendengar cerita Debora.

Ada kalanya terlintas tanya perihal apa yang dia lakukan selepas aktivitas padatnya. Bagaimana ia hidup dan mengurus dirinya sendiri di penthouse. Atau pada siapa ia berkeluh kesah atas segala problema dalam hidup.

Rangkaian tanya itulah yang terus mengungkungku sejak dua hari lalu. Membuatku terlupa akan gelar raja skandal yang disandangnya. Bahkan segudang analisa yang kubuat setelah melanjutkan potongan CCTV dalam kasus kematian Dusan pun turut sirna sejenak waktu.

"Apa yang kau bawa, Flo?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Atensiku jatuh pada paper bag yang Flo bawa.

Flo mengedikkan bahu. "Entahlah, Felix menitipkannya untukmu. Dia tidak mengatakan apa-apa setelah itu dan langsung pergi."

Sembari menerima paper bag yang Flo angsurkan, sepasang alisku mengernyit bingung. Kotak berwarna putih dengan tali pita berwarna gold lantas kubuka secara perlahan. Dan di detik berikutnya, napasku tercekat-begitu pun Flo yang menatapku dengan mata berbinar-mendapati sepasang stiletto berwarna silver dengan detail yang begitu cantik.

Aksen daun dan tangkai melingkupi bagian heels, menyebar ke bagian belakang hingga bodi samping. Tampilannya kian sempurna dengan motif bunga berwarna putih. Dilihat dari detailnya, aku berani bertaruh, sepatu yang ada di hadapanku kini adalah produk limited edition.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang