35. Titik 0 Km Paris

111 10 8
                                    

Terakhir kali Perancis dihantam hujan badai sekitar pertengahan Agustus tahun lalu sekaligus mengakhiri gelombang panas. Angin berembus kencang hingga dedaunan berserakan. Ranting-ranting pohon di tepi jalan patah tak beraturan. Tumpukan sampah berbobot ringan terseret angin dengan mudah. Bertebaran. Mengubah jalanan kota menjadi kumuh.

Langit bertambah gelap. Disusul kilat dan hujan berintensitas sedang saat kami menginjakkan kaki di Katedral Notre Dame. Suasana kian mencekam tatkala gemuruh petir bersahutan.

Penyebabnya entah karena perubahan cuaca ekstrem akibat pemanasan global atau semesta yang tak seimbang sebab pertempuran dua klan vampir terkuat.

Seperti sebuah film bukan? Namun, ini nyata. Logika memang sulit mencerna, hingga aku pun tak mampu mengambil kesimpulan dengan sempurna atas semua yang kualami hari ini. Otakku seolah kehilangan fungsi tatkala vampir berambut pirang yang satu mobil denganku berteriak lantang, meminta kami memperlebar langkah, bergegas masuk ke katedral. Musuh terang-terangan menunjukkan eksistensi di titik 0 km Paris.

Adrenalin seketika terpompa. Detak jantung bekerja dalam ritme terlampau cepat. Tubuh dibanjiri keringat dingin seiring dengan munculnya ingatan penyerangan yang aku alami musim dingin lalu. Langkah kaki pun tak seimbang, diminta bergegas ditengah rasa lemas. Sesekali terkantuk anak tangga hingga aku nyaris tersuruk.

Duniaku kacau. Segalanya terjadi tanpa bisa diprediksi. Dan entitas langit-langit tinggi melengkung, pilar menjulang, serta altar di dalam katedral turut menghadirkan prahara dalam dada.

Mataku terpejam sembari meresapi memori yang hadir tanpa permisi. Semerbak wangi bunga dan denting piano yang mengalun lembut seakan dimainkan kembali. Pun impresi pria dalam balutan tuxedo putih. Secara nyata, kilasan pernikahan awal musim semi lalu terputar dengan runut.

Ditengah sesak yang menghimpit dada, perasaan aneh sekaligus asing muncul begitu saja. Aku benci mengatakan ini, tetapi harus mengakuinya ... aku ingin mengulang momen itu bersama pria yang sama, Felix Francois. Aku ingin mengulang janji pernikahan tanpa ada kebencian. Juga ciuman hangat yang sedikit liar—tapi serupa candu—kala itu.

Akan tetapi, apa yang bisa aku harapkan dalam keadaan semacam ini? Pria yang terlambat kucinta tengah terjebak situasi sulit. Jangankan mengulang pernikahan. Melihatnya kembali dalam keadaan hidup sudah lebih dari cukup.

"Madame." Setetes air mata jatuh begitu saja saat Debora menginterupsi.

Sisi rapuhku terkuak. Peduli setan dengan penilaian Debora atau siapa pun yang selama ini melihatku keras. Lelah rasanya terus-terusan memakai topeng, berlagak tegar padahal batin hancur lebur.

Berulang kali aku mengatur napas, menetralkan gemuruh yang membuatku nyaris terisak. Lewat sepuluh detik, wajah sendu Debora yang pertama kali tertangkap netra. Jelas tersirat kekhawatiran sekaligus empati dalam sorot matanya.

Di belakang tubuh Debora, berdiri seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah meski rambutnya mulai memutih. Tubuhnya tak terlalu kurus, tapi juga tidak tambun. Hidungnya mancung, alisnya tidak terlalu tebal dan matanya cekung. Lingkaran hitam di bawah mata seolah menegaskan seberapa berat hari-harinya.

"Aku seperti melihat Antoine dalam versi perempuan muda," ujarnya sembari mendekat. Satu kakinya terlihat pincang.

"Kurang lebih tiga tahun lalu Philip terlibat kecelakaan beruntun. Tubuh bagian bawahnya terjepit hingga menimbulkan masalah yang cukup serius. Berbagai pengobatan sudah kami coba, tapi ... ya, begitulah. Meskipun kini harus menggunakan tongkat untuk membantunya menopang tubuh, tapi kami benar-benar bersyukur karena dia masih diberi kesempatan hidup."

Cerita Debora yang kembali terngiang membuatku merenung sejenak waktu. Nyatanya setiap orang punya ujian masing-masing. Tidak ada yang hidupnya mulus. Philip diuji dengan kesehatannya hingga menyebabkan cacat tubuh. Tanpa dijelaskan lebih jauh, aku tahu bagaimana sulitnya untuk menerima kondisi itu. Puluhan tahun diberi nikmat sehat, lalu Tuhan mengambilnya, mengantarkan ia pada kondisi yang berbeda. 

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang