Hari masih terlalu dini untuk memulai aktivitas. Namun aku sudah kembali menyusuri kawasan Boulevard Auguste Blanqui dengan taksi berwarna putih untuk meninggalkan apartemenku.
Lampu jalanan yang berpendar terang di antara lengangnya ruas jalan kota Paris, menjadi objek utama yang terbias di sepasang mataku. Waktu yang masih menunjukkan pukul 3 dini hari sebenarnya terasa lebih nikmat untuk bergelung dalam selimut, tetapi tidak denganku.
Kekacauan yang Felix ciptakan beberapa waktu lalu, melahirkan panggilan bertubi-tubi dari kantor. Potongan video ciuman kami yang tersebar diberbagai sosial media dengan begitu cepatnya, juga portal berita online yang saling adu cepat mengabarkannya, memaksaku menghadap para petinggi.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" geramku pada diri sendiri. "Seharusnya aku tidak larut dalam ciumannya. Sekarang apa yang harus kulakukan?" Sembari mengerang frustrasi, kedua tanganku bertumpu pada lutut. Sementara jemariku menelusup di antara helaian rambut cokelat keemasan milikku, meremas pangkalnya hingga kusut.
"Madame, kita sudah sampai di Du Monde." Suara tebal milik supir taksi memaksaku mengangkat wajah.
Dari bangku belakang, aku setengah melongok, memeriksa bangunan di tempat kami berhenti. Bangunan berlantai lima yang mayoritas konstruksi depannya menggunakankaca, berdiri gagah dalam balutan malam. Dari tempat itulah peredaran suratkabar nomor wahid di Perancis dimulai.
Aku turun setelah menyerahkan beberapa lembar euro sesuai dengan argo. Berjalan di bawah langit gelap dengan terpaan angin musim dingin, kedua tangan kumasukkan ke dalam saku mantel hitam untuk menghalau dingin yang teramat menusuk. Sedangkan setengah wajahku tenggelam di balik syal hitam.
Berbekal kartu identitas sebagai akses masuk, lantai lima Du Monde adalah tujuanku. Menemui Pierre, redaktur desk kriminal yang turut mengirim pesan bertubi-tubi padaku.
"Datanglah ke kantor sekarang juga, Corin, sebelum para reporter menyerbu apartemenmu dan menutup akses keluar."
Pintu kaca di ruang redaksi lantai lima terbuka otomatis, menyuguhkan pemandangan ruangan super luas yang mulai didera sepi. Dari puluhan kubikel yang tersebar, menyisakan sekitar sepuluh komputer menyala. Enam berpenghuni dan sisanya tak bertuan.
"Kemarilah," bisikan menyambut kedatanganku, disusul dengan kamitan di lengan kanan yang menyeretku menuju ruangan berdinding kaca di tengah-tengah ruang redaksi. Tempat di mana rapat biasa berlangsung.
Serupa tersangka utama, aku dihadapkan pada dua orang paling berpengaruh dalam sejarah karierku sebagai reporter Du Monde. Di meja berbentuk oval ini, ada Louis si redaktur pelaksana, dan Lyle—pria berambut putih berusia lebih dari setengah abad yang menjabat sebagai pemimpin redaksi. Juga Pierre tentunya.
Benar-benar serupa yang terlintas di pikiranku. Hingga ingin rasanya aku mengutuk dalil bad news is a good news.
"Kau gila?" gertak Pierre tak sabaran, bahkan sebelum pantatku menyentuh kursi. "Bisa jelaskan kekacauan macam apa ini?" lanjutnya sembari melempar tab ke arahku dengan cukup kasar hingga timbul suara berdebam.
"Ini tidak seperti yang kalian kira. Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan pria sialan itu."
"Tidak memiliki hubungan tapi berciuman sepanas itu, kau pikir aku percaya?" sungut Pierre dengan wajah penuh kesal.
"Harusnya. Tapi aku yakin kau tidak akan percaya," jawabku dengan fokus pada tab di tangan.
Deretan Wanita Felix Francois; Putri Parlemen, Politisi, Hingga Jurnalis
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice Of Sacred [END]
Mystery / ThrillerCorin Lafebvre, seorang reporter yang harus mengalami jungkir balik kehidupan karena Felix, model papan atas yang dikenal sebagai raja skandal. Pertemuan keduanya dan juga insiden tak terbayangkan di acara reuni sekolah melahirkan skandal yang menga...