31. La Belle Ville Et Confession

122 15 2
                                    

Teko listrik, mug, dan biskuit mengisi meja bundar di area balkon kamar hotel. Semerbak wangi teh turut menemani kami menjemput malam di daerah pinggiran Paris yang tak kalah semarak dari pusat kota.

Les Lilas dengan geografisnya yang merupakan perbukitan bermandikan cahaya lampu di antara bangunan-bangunan berfasad batu potong dan jendela tinggi berbalkon. Sementara jalanan di bawah sana masih dipadati kendaraan ketika rembulan beranjak kian tinggi. Juga pejalan kaki yang mengenakan trench coat sembari menenteng tas dan cup kopi. Peralihan dari musim dingin ke musim semi membuat angin malam lebih menggigil dibanding siang hari. Meski begitu, tak terpikirkan untuk beranjak dari kursi rotan yang kami duduki.

Meninggalkan pusat kota dan segala ceritanya terasa cukup menenangkan. Bonusnya, aku punya kesempatan untuk mengenal Felix lebih dekat lagi lewat perjalanan kali ini. Tak ada interaksi bertensi tinggi seperti sebelumnya. Hanya ada obrolan layaknya dua orang teman. Dengan leluasa kami berbagi cerita, keluhan, hingga mengatai satu sama lain. Bahkan, Felix rela menukar kamar yang awalnya berada di lantai teratas ke lantai empat, saat aku mengeluh tidak nyaman lantaran teringat insiden kematian Pierre.

Jarak yang sedikit demi sedikit terkikis kadang membuatku lupa bahwa kami berasal dari keturunan yang berbeda. Dia vampir, aku manusia. Dia hidup ribuan tahun, sedangkan aku baru memasuki akhir 20-an. Dia punya tanggung jawab menjaga klannya, sementara aku hanya bertanggungjawab pada hidupku sendiri. Dia memiliki segudang rahasia dan harus hidup dalam pelarian, aku .... Dari segi manapun, kami memang tak ditakdirkan untuk bersama, bukan?

"Kau yakin tidak ingin kembali?" pertanyaan Felix menyentakku dari lamunan. Pria itu mengangkat dagu dengan pandangan terarah ke ponselku yang menyuguhkan laman Du Monde dan segala berita ter-update.

Aku menghela napas, seiringan dengan Felix yang beranjak ke ujung balkon dan bersandar pada teralis besi. "Aku tidak tahu ... terkadang, ingin cepat kembali ke lapangan, menghabiskan hari dengan liputan dan deadline yang tidak manusiawi. Akan tetapi, ada kalanya aku merasa takut jika harus berkeliaran di luar sana tanpamu .... Maksudku, dunia mendadak mengerikan setelah kematian Pierre. Fakta bahwa manusia berbagi ruang dan waktu dengan vampir membuatku tidak lagi bisa berpikir positif. Terlebih, aku mencampuri sesuatu yang tidak seharusnya. Kau tahu seperti apa rasanya, kan?"

"Kau takut dengan Raimond? Lalu siapa yang kemarin tergila-gila padanya?"

"Oh ayolah, situasinya berbeda, Dude. Kalau sejak awal aku tahu dia keturunan vampir, aku tidak akan sudi menggilainya."

Felix tergelak sesaat. Benar-benar singkat, karena setelahnya ia melayangkan tatapan yang begitu dalam ke arahku. Dan aku benci ketika mata abu-abu itu mendominasi, mengubah atmosfer di antara kami menjadi lebih serius sekaligus canggung.

"Bagaimana denganku?" tanyanya dengan intonasi rendah. "Seandainya aku bukan keturunan vampir, bisakah jarak ini benar-benar terhapus?"

Entah sejak kapan pria beraroma cedar wood itu meninggalkan tepi balkon. Ia mengungkungku dengan kedua tangan yang bertumpu ke lengan kursi. Tubuhnya membungkuk, menyejajarkan wajah kami hingga deru napasnya menyapu permukaan kulitku.

Sialnya, pergerakan Felix yang tak terduga membuatku membeku dengan jantung bertalu. Aku seolah tuli. Tidak ada lagi deru mesin kendaraan yang tertangkap telinga. Semuanya tergantikan oleh tarikan napasnya yang teratur, tetapi sedikit berat. Lidah pun mendadak kelu. Tak satu pun kalimat yang berputar di pikiran mampu kusuarakan.

Detik berlalu tanpa sepatah kata, Felix lah yang mengakhiri kecanggungan. Separuh bibirnya terangkat ke atas, membentuk senyum saat punggungnya menegak. Baru saja aku ingin bernapas lega, tetapi tangan kanannya yang terjulur dan mengacak rambutku justru melahirkan gejolak baru.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang