04. Bukan Wartawan Amplop

633 136 65
                                    

Suara penuh perintah menemani langkahku mengendap menjauhi apartemen yang masih dihuni beberapa reporter. Diwaktu tengah malam, pemilik Bugatti Chiron yang kemarin kutumpangi mengusik penghujung hari. Sejak lima menit lalu, percakapan alot membelenggu kami.

"Kau pikir uang bisa membeli segalanya? Kau salah, Tuan!" Rahangku mengetat mendengar penawaran jutaan euro yang dia berikan demi mencapai kata sepakat.

"Tapi segalanya butuh uang, Nona. Jangan munafik. Jadi, mari bekerjasama. Aku akan membayarmu lima kali lipat dari penawaran semula. Jika masih menolak, jangan salahkan aku kalau bertindak lebih dari ini."

Aku berhenti melangkah. Lima kali lipat dari 20 juta euro. Tunggu dulu, berapa nominal yang akan kuperoleh jika menerima tawaran pria sialan ini?

"Satu, dua, tiga, empat, lima .... Berapa banyak nol di rekeningku?"

Felix terkekeh di ujung telepon mendengar gumamanku. "Kau tidak akan bisa membayangkan berapa banyak nol di rekeningmu nanti. Jadi, apa kau tertarik dengan penawaran terakhirku, Madame?"

Cibirannya membuatku mendengkus. Tidak munafik, nominal dengan nol tak terhingga itu berhasil membuatku meneteskan air liur. Namun, menjual profesionalitas bukanlah cerminan seorang Corin Lafebvre.

Tindakan menerima suap tidak dibenarkan dari segi mana pun—meski praktiknya di lapangan tidak semuanya sesuci itu. Akan tetapi, rekam jejak menjadi hal penting dalam kehidupanku mencari berita. Sebagai wartawan, aku tidak ingin dilabeli 'wartawan amplop'. Karena sekali dilabeli, itu akan melekat hingga mati nanti. Sungguh mengerikan.

"Aku tidak butuh uangmu, Pria Sombong!" tegasku sebelum memutus sambungan telepon secara sepihak. Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku mantel yang sejak kemarin kukenakan. Langkahku lantas menjauh dari kawasan apartemen. Tujuanku hanya satu untuk memberi hak istirahat pada tubuh yang mulai merangungkan protes, yaitu rest room Du Monde.

"Rasanya sudah seperti gelandangan saja, kehilangan tempat tinggal dan tidak memiliki pakaian ganti. Benar-benar luar biasa hidupku yang jungkir balik ini," keluhku sembari menatap sepotong sweater berwarna rose quartz, celana jeans, dan mantel yang kukenakan sejak kemarin. Baunya tidak lagi sedap karena tercampur polusi.

"Andai saja bukan karena skandal gila yang pria itu ciptakan, aku tidak akan—"

Pikiranku mendadak blank ketika segalanya terjadi dengan begitu cepatnya. Tubuhku yang berjalan mundur terasa melayang sebelum terpelanting membentur aspal dan berguling beberapa kali di ruas jalan yang mulai sepi, menyisakan nyeri hebat pada pergelangan kaki. Juga pening yang mendera dan punggung terasa remuk redam.

Dengan posisi tertelungkup, aku sekuat tenaga mengangkat kepala. Mataku menyipit, memeriksa jalanan sepi tengah malam. Mobil yang berhenti beberapa meter di depan sana menjadi pusat atensiku. Ada dua orang yang keluar dengan baju berwarna gelap.

Tunggu dulu! Apa mereka malaikat pencabut nyawa? Apa ajalku sudah tiba? Ya Tuhan, aku belum balas dendam pada Belle dan Raimond, jangan ambil nyawaku dulu.

Aku berusaha bangun dari dinginnya aspal dengan tenaga yang tersisa, menahan rasa sakit yang mendera tubuhku.

"Maafkan sopirku, Nona, apa kau baik-baik saja?" Suaranya yang berintonasi dingin terdengar sangat familier.

Aku lantas mendongak, menatap seksama sosok berbaju hitam yang berdiri menjulang di hadapanku. Seringaian liciknya menjadi pertanda yang tak terelakkan. Jadi kau mengikuti sejak tadi dan melakukan ini dengan sengaja? Terkutuklah kau pria sombong!

****

Entah karena takdir kami yang terikat atau Dewi Fortuna sedang menjauh dariku. Sejak skandal gila malam itu, namaku terus saja muncul di kolom utama media cetak, portal berita online, juga berbagai acara infotainment.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang