21. Seine dan Ingatan Lama

202 45 7
                                    

Ketika Felix melontarkan ide untuk menyusuri Seine, aku menyetujuinya tanpa pikir panjang. Mengekorinya dengan mulut bungkam saat ia terlibat percakapan dengan petugas dari salah satu operator kapal pesiar. Bahkan, ketika kapal berdinding kaca dengan dua dek ini berlayar pelan mengantarkan kami dalam private cruise, aku masih membisu.

Bukan karena teka-teki kematian Dusan dan Rachaele mencipta simpul makin erat. Bukan. Aku hanya sedang terpesona. Terpesona pada Paris dan segala keindahannya.

Langit kelam, pendar lampu berwarna kuning, Seine yang keemasan dan pohon-pohon dengan ranting yang masih meranggas di sepanjang sungai-juga aroma cedar wood yang menguar dari tubuh Felix- ciptakan suasana magis nan romantis. Dan aku harus mengakui, bahwa tur menyusuri Seine adalah ide paling brilian untuk rehat sejenak dari kasus yang mengikat kami.

"Di mana mantelmu? Kau bisa mati kedinginan."

Aku terperanjat kaget saat suara serak milik Felix menyapa rungu. Pria berkemeja hitam yang baru saja menyusulku di dek atas itu mengangsurkan mantel yang beberapa waktu lalu melekat di tubuhnya. Hey, apa bedanya? Dia juga bisa mati kedinginan jika melakukan hal sekonyol ini, 'kan?

Ayolah, tak perlu berlagak romantis jika faktanya kau juga membutuhkan mantel untuk menghangatkan tubuhmu.

Harusnya kalimat itu kulontarkan dengan nada sengit, tapi aku memilih jadi pengecut. Alih-alih mendebat, niat baiknya kusambut tanpa sepatah kata. Terlalu sayang untuk menukar pemandangan yang Paris sajikan dengan berdebat kusir.

Mengabaikan Felix yang mengambil tempat di sampingku, bangunan di sepanjang tepi sungai mencuri atensi, membuatku berdecak kagum berulang kali. Rasanya seperti baru pertama kali menginjakkan kaki di Paris.

Baik, katakanlah aku norak. Namun, kalau boleh jujur, sudah terlalu lama aku menenggelamkan diri pada pekerjaan. Semenjak rencana pernikahanku dan Raimond gagal, liburan adalah sesuatu yang mahal bagiku.

Dalam kamus hidupku hanya ada kata kerja, kerja, dan kerja. Bahkan di akhir pekan sekalipun. Dan ini sungguh bertentangan dengan konsep work-life balance yang digalakkan di negeri ini**. Akan tetapi, aku bisa apa? Hanya dengan cara itu aku dapat bertahan hidup dan mengalihkan rasa sakit hatiku.

Larut dalam pesona Paris, ingatanku berpindah haluan dalam hitungan detik. Bukan lagi ingatan tentang Raimond yang mendominasi pikiran, melainkan Felix.

Penyebabnya adalah Pont des Arts yang tersaji di depan mata. Masih segar dalam ingatanku bagaimana kami bersandiwara dengan iringan accordion yang dimainkan oleh seorang pria tua. Kala itu, kepalaku dipenuhi stigma tentang Felix. Bayangan sebuah hubungan yang penuh ketegangan mengakuisisi seluruh logika. Membuatku menutup mata akan kemungkinan-kemungkinan lain dalam hidupnya, sebab yang kutahu, Felix itu picik.

Namun kini ... aku mengaku salah. Penggalan cerita yang kukumpulkan dari Debora, juga sikap Felix yang belakangan ini tak tertebak, melunturkan sebagian stigma yang membelengguku. Aku sadar, bahwa setiap manusia terlahir dengan dua sisi yang berbeda: baik dan buruk.

Dan selama ini-entah sengaja atau tidak-sisi buruklah yang dominan Felix tunjukkan. Aku tak tahu kenapa, tapi ia seolah menyembunyikan sesuatu di balik tabiatnya, juga skandal-skandal yang membelenggunya.

Haruskah aku mengoreknya lebih dalam? Haruskah aku menuruti Debora untuk mengenalnya dengan hati?

Perdebatan muncul dalam benak ketika penggalan hari-hari kami menelusup tanpa permisi. Disatu sisi aku ingin menjunjung tinggi egoku, menempatkan diri sebagai korban atas kegilaan Felix yang menawarkan perjanjian pernikahan. Disisi lain, aku ingin berdamai dengannya, sebab aku tak bisa menyelesaikan kasus Dusan dan Rachaele seorang diri.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang