27. Mitologi dalam Dunia Nyata

135 18 2
                                    

"Sebastian Giroud tidak bermain sendiri dalam kasus perdagangan organ manusia. Ada sosok kuat di belakangnya yang mendukung selama ini. Sama seperti Rachaele, pria itu hanya dijadikan pion untuk menutupi sang dalang yang takkan bisa tersentuh hukum manusia. Dan penelusuran membawaku ke Lycee Saint-Louis malam itu.

"Kukira segalanya akan berjalan dengan lancar seperti yang sudah-sudah. Tak salah bukan jika aku terlalu percaya diri pada kemampuanku dalam melakukan investigasi. Perancis bahkan mengakui skill seorang Pierre de la Cour. Namun ternyata aku keliru.

"Lawan yang kuhadapi lebih mengerikan dan pastinya tak masuk akal. Kekuatannya takkan mampu kuimbangi. Sebab dia bukan lawan yang sebanding. Seandainya malam itu aku tak mengikuti perintah Seigneur, aku akan jadi korban yang kesekian ratus dalam jaringan perdagangan organ milik Sebastian Giroud. Aku belum siap mati dan demi kesempatan kedua, aku rela menggadaikan profesionalitasku dalam berkarier.

"Aku tahu, keputusanku hanya akan membuat banyak orang kecewa, terutama Lyle, Louis, dan Corin saat mengetahui aku sengaja memalsukan berita dan menyudutkan Felix dalam kasus ini demi memuluskan tujuan Seigneur. Aku sendiri pun merasa malu karena tak mampu memegang teguh prinsipku. Mau bagaimana lagi, dunia memang sekejam ini. Hanya yang kuat yang mampu bertahan hidup."

"Pierre!" Aku tersentak dengan napas memburu kala catatan Pierre kembali terngiang disusul tragedi berdarah yang terlihat begitu nyata dalam bayangan.

Sekujur tubuhku dibanjiri keringat, detak jantung bertalu kuat, dan tatapanku melesat dengan cepat dari titik satu ke titik lainnya. Menyapu setiap jengkal yang mampu kujangkau dengan sisa-sisa kebingungan.

Atensiku terhenti pada jendela besar yang sejajar dengan tempatku berada saat ini. Eksistensi tirai putih yang tertiup angin dengan pemandangan Katedral Notre Dame di malam hari menyadarkanku bahwa aku kembali ke teritorinya. Kembali ke mansion yang satu minggu ini kutinggalkan dengan alasan ingin menenangkan diri.

Sejenak mataku terpejam. Berulang kali aku menarik napas panjang, berharap ketenangan dapat kurasakan meski hanya sesaat. Di atas ranjang king size dengan selimut abu-abu, aku duduk meringkuk, memeluk lutut ketika tragedi senja tadi nampak begitu jelas.

Bohong jika aku tidak trauma. Pekatnya warna darah pada atap mobil berwana putih itu berhasil membuatku dilanda cemas. Belum lagi rasa hampa di dada. Sungguh, aku tak percaya semua ini nyata. Aku tak percaya Pierre telah tiada. Semuanya terjadi dengan begitu cepat hingga aku tak mampu mencernanya.

Pierre de la Cour, sosok yang belakangan ini terus kumaki karena membuat berita palsu. Bila aku tahu lebih awal, takkan kubiarkan tensi tinggi melingkupi setiap pertemuan kami. Takkan kubiarkan amarah menghancurkan hubungan baik yang telah kami jalin selama ini.

Jika tahu lebih awal, akan kutuntun ia kembali ke jalur yang benar. Sebagaimana ia selama ini mendidikku. Masih begitu membekas dalam ingatan bagaimana pria itu meminta maaf usai membentakku hingga menangis di pertemuan pertama saat masa pelatihan. Sejak hari itu, Pierre tak ubahnya saudara lelaki bagiku.

Kesalahan demi kesalahan yang kulakukan tak lantas membuatnya murka. Dengan telaten, ia mengajariku cara bertahan hidup sebagai reporter, terutama di desk kriminal. Saat kutanya kenapa, alasannya sungguh konyol; karena kau satu-satunya wanita yang memenuhi kriteria desk kriminal.

Sekalipun aku berpindah divisi saat rolling tugas, pria itu dengan senang hati membagi ilmunya selama berkarir menjadi jurnalis. Sesibuk apa pun, sosoknya selalu ada setiap kali aku butuh pencerahan dalam menghadapi masalah selama liputan.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang