16. Teka-Teki Pierre dan Lyle

391 83 6
                                    

Felix Francois si raja skandal kembali mencuri atensi. Namun, kali ini tak sendiri. Sebab namaku turut mewarnai berbagai media di Perancis.

Gambaran diriku dalam balutan gaun berwarna putih berlatar Pont Alexander III memenuhi halaman utama Du Monde. Pun dengan Felix yang nampak gagah dalam balutan jas berwarna gelapnya. Ya, gagah. Aku mengakui itu. Tidak hanya sekarang, tapi sejak malam itu. Ketika momen kami yang tengah bersandiwara dalam 'drama romantis' karangannya diabadikan dalam jepretan kamera.

Meninggalkan potongan foto pre wedding yang memakan dua kolom sekaligus, atensiku tertuju pada ulasan berita yang disuguhkan. Rangkaian aksara yang mereka pilih terlampau manis-bahkan aku nyaris tak bisa membedakan mana novel romance dan mana surat kabar-hingga membuatku mendengkus keras.

Oh, ayolah. Ide siapa yang mengulas hubungan kami dalam bentuk feauture semacam ini? Apa mereka sedang mencoba menggandakan keuntungan dengan menjual kehidupan pribadi karyawannya? Benar-benar konyol.

Muak dengan pemberitaan yang secara tidak langsung jadi alat pencitraan bagi Felix, lembar pertama surat kabar Du Monde kusibak dengan kasar. Hazelku lantas bergerak acak. Memindai satu per satu headline yang tercetak tebal. Tujuanku hanya satu, menemukan kabar terbaru tentang Rachaele.

Namun, hingga halaman tengah terlewati, tak satu pun berita kriminal yang mengulas tentangnya. Artinya, tebakanku dan Zo dua hari lalu benar, bahwa persidangan Rachaele masih belum ditentukan. Beruntung. Setidaknya ada peluang bagiku untuk datang jika persidangan digelar minggu depan-seperti prediksi Zo.

Setelah tak ada lagi yang menarik, surat kabar Du Monde kubiarkan terlipat di pangkuan. Tatapanku beralih ke sisi kanan. Lewat kaca mobil berwarna gelap, jalanan padat Kota Paris di kala sore jadi pusat atensiku.

Deretan mobil yang merayap melahirkan kerinduan dalam benakku setelah satu minggu mendekam di apartemen. Rindu pada jadwal harian yang begitu padat. Rindu pada jalanan macet di dekat Arch de Triomphe. Juga rindu dengan deadline yang memburu.

Dan dibalik kerinduan yang mengungkung kian erat, ada satu fakta yang membuatku menghela napas panjang. Yakni waktu yang berlalu dengan begitu cepatnya. Siklus kehidupan yang enggan berhenti barang sejenak mengantarkanku pada titik baru: kehidupan yang lebih kompleks.

Sebab sebentar lagi, hidup seorang Corin Lafebvre tak lagi menjadi milikku seorang. Meski dibangun tanpa landasan cinta, aku harus terbiasa berbagi oksigen di bawah atap yang sama dengan pria asing.

Tunggu dulu, jangan hujat aku karena menganggapnya sebagai orang asing. Aku tak keliru. Felix memang asing bagiku. Yang kutahu tentangnya hanya sebatas nama, profesi, tabiat buruknya saat diwawancara, juga rentetan skandal yang menjerat pria itu.

Selebihnya, tak ada sedikit pun informasi yang kukantongi. Jejaknya misterius. Bahkan wanita yang duduk di sampingku, yang notabene tangan kanannya pun enggan berbagi cerita. Orang-orang terdekatnya kompak membuatku gugup menjelang momen paling penting dalam hidupku. Menyebalkan.

"Madame, kuperhatikan sejak tadi, Anda terlihat kurang baik. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran?" tanya Debora.

"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit gugup," balasku.

Debora kudapati mengulas senyum tipis. Ponsel yang sejak tadi jadi titik fokusnya kini beralih ke atas pangkuan. Sepasang matanya mengunci pergerakan hazelku. Sementara tangannya terulur meraih jemariku yang sejak tadi meremas gaun pengantin yang kukenakan. Menggenggamnya tak terlalu erat tuk salurkan kehangatan.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang