11. Apartemen Louvre Tengah Malam

448 103 52
                                    

Paris ditinggalkan menggigil. Berkawan pendar lampu jalanan, juga deru mesin Bugatti Chiron yang melaju dengan pelan. Duduk di samping kemudi, tatapanku menyisir setiap sudut yang terjangkau mata.

Bangunan bergaya Gotik yang menjulang di bawah langit kelam menghadirkan ingatan tentang malam lalu. Mengundang ketakutan yang menyusupi setiap ruas tubuh. Hingga bulu kuduk terasa meremang saat sensasi perih di kulit kepala kembali mendera.

Meski aku berkata siap mati saat terjun ke medan liputan, nyatanya, hal mengerikan yang baru pertama kali kualami sisakan semacam trauma. Terlebih ketika Bugatti Chiron memasuki gang yang menjadi saksi kala nyawaku hampir melayang.

Sepasang mataku menutup secara refleks. Diikuti tarikan napas panjang tertahan. Andai kedua tanganku yang mengepal di pangkuan tak dilingkupi genggaman Felix, mungkin aku lupa bagaimana caranya bernapas.

"Kukira Corin Lafebvre tak memiliki ketakutan sedikit pun," cibir Felix, "Kalau tahu begini seharusnya tak perlu membuat kekacauan dengan meminta pulang tengah malam, Nona. Dasar keras kepala."

Tak ada sedikit pun hasrat tuk menimpali. Sebab seluruh logika terpusat pada usapan lembut di punggung tanganku. Meresapi pergerakan pelan yang menenangkan. Nyaman. Berbanding terbalik dengan bibirnya yang terlampau fasih mencibir. Jika saja aku tak ingat tabiat Felix Francois si model gila skandal, aku tak ubahnya wanita di luar sana. Yang dengan sukarela menyerahkan diri tuk hangatkan ranjangnya barang satu malam.

"Di lantai berapa kau tinggal?"

Pelan namun pasti, sepasang mataku kembali dipenuhi cahaya lampu jalanan. Mengabaikan pertanyaan Felix, tatapanku lantas mengedar ke segala arah, bersamaan dengan deru mesin Bugatti Chiron yang terhenti. Pintu hitam apartemen dengan kombinasi kaca, restoran, juga cafe di seberang jalan ... ah, rasanya sudah sangat lama meninggalkan tempat ini.

Terlalu larut dalam pikiran, sosok Felix tak lagi kudapati berada di balik kemudi. Tubuh tingginya menunduk di sampingku, tepat di antara pintu mobil yang terbuka. Dan ketika pergerakan mulai kubuat, jemari panjangnya bergerak lincah memerangkap lenganku. Menjadikan dirinya sebagai tumpuan menggantikan satu kakiku yang cedera. Apakah ini bagian dari pencitraan?

Entahlah. Yang pasti, perlakuannya menjadi pengingat bagi diriku tuk memasang sikap waspada. Tentang kemungkinan batalnya pernikahan kami. Hey, jangan hujat aku sebab meragukan kebaikan si model papan atas milik Perancis. Bukankah di mana pun pria selalu sama? Berlaku manis sebelum menjadi bengis.

"Di lantai berapa kau tinggal?" ulangnya sekali lagi.

"Lima."

Tengah malam kian mencekam ketika kami sama-sama bungkam. Ditinggalkan seorang diri di depan pintu apartemen dengan bantuan kruk, tatapanku terfokus pada Felix yang mengemasi barang-barangku. Entah bagaimana caranya, ia yang baru kembali dua jam lalu-setelah obrolan pagi tadi-mendominasi seluruh pikiran. Menyisakan puluhan tanya yang mendesak tuk segera disampaikan. Terutama tentang imbalan yang ia janjikan.

Aku sudah berusaha sejauh ini. Nyawa pun jadi taruhan. Tak pantas rasanya jika aku harus gigit jari. Harus ada bayaran yang setimpal untuk semua yang kuupayakan. Bukankah begitu?

"Kau bisa membawanya?"

"Tentu .... Merci," balasku singkat sembari meraih paper bag yang Felix angsurkan.

Tanpa menanti balasan, satu tanganku mencengkeram kruk kian erat. Berusaha memutar tubuh tuk menjangkau pintu apartemen meski sulit dilakukan.

"Dan berikan itu padaku."

Hampir dua langkah ketika suara berat milik Felix menginterupsi pergerakan. Memaksaku menatap pantulan dirinya dari kaca pintu apartemen yang berembun. Meski samar, sepasang matanya kutatap penuh tanya.

Sacrifice Of Sacred [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang