Don't forget to hit the star button and leave some comments. Ok?
Enjoy~
---
Pagi hari yang indah. Langit berwarna biru muda dengan awan-awan putih yang tampak lembut.
Jeno sedang berdiri di dekat loker Jaemin, sedang menunggui pujaan hatinya meletakkan beberapa barang di loker. Felix sedang mengeluhkan dirinya yang 'ngidam' roti bakar pagi-pagi kepada Seungmin. Guanlin sedang mengobrol sambil memakan roti dari rumah. Saat Hyunjin lewat.
Suara kaca pecah itu nyaring. Tapi bahkan Jaemin, yang tidak sengaja melepaskan genggamannya dari tumbler kaca miliknya, tidak memedulikan pecahan kaca yang berserakan di dekat kakinya. Begitu juga Jeno, yang menatap Hyunjin dengan seluruh rasa bingung, Felix yang langsung menghentikan keluhannya, dan Guanlin yang sampai tidak sadar menyuapi rotinya ke mulut Renjun yang memang tadi sedang mengobrol dengannya.
Pagi ini, Hyunjin, si mantan pembolos yang pelit bicara, tampak berjalan di lorong sekolah sambil menggenggam tangan Jisung. Jari mereka bertaut dengan manisnya.
"KALIAN KAPAN JADIANNYA, HEH!?". Pertanyaan dengan suara nyaring Felix mewakili pertanyaan semua orang.
---
"Lo jadian kapan? Ngaku, nggak!? Perasaan Jum'at lo masih bertitel jomblo, sekarang udah gandengan pagi-pagi,".
Wajah Jisung merah sekali. Ia akui, Felix adalah teman yang sangat baik dan seru. Tapi kalau boleh jujur, ia tidak suka sifat Felix yang satu ini: berisik sekali kalau menyangkut urusan percintaan Jisung.
"Jadi udah official?" Tanya Seungmin kalem. Berbeda dengan Felix yang rusuh, Seungmin jauh lebih tenang.
Jisung mengangguk. Matanya melirik sekilas kearah Hyunjin. Laki-laki yang ia lirik dalam keadaan yang sama, di kelilingi teman-teman yang meminta penjelasan.
---
Hyunjin menjawab singkat-singkat semua pertanyaan dari teman-temannya, terutama dari Chenle, lumba-lumbanya geng. Ia lebih banyak sekedar mengangguk atau menggeleng karena pertanyaan yang diajukan rata-rata hanya membutuhkan 'iya' atau 'tidak' sebagai jawaban.
Hyunjin bangkit dari kursinya, tanda sesi tanya-jawab telah selesai. Ia menoleh kearah tempat Jisung duduk. Beruntung yang ditatap sadar sedang diperhatikan dari jauh, jadi Hyunjin bisa langsung memberikan senyum tipis ke Jisung. Membuat yang disenyumi lagi-lagi bersemu.
Tanpa banyak bicara lagi, Hyunjin keluar dari kelasnya. Tujuannya hanya satu: mencari Jaemin. Laki-laki yang menjadi sahabatnya sejak SMP itu tidak kembali sejak tadi.
Tungkai Hyunjin bergerak secara otomatis menuju rooftop. Menuju tempat yang seringnya terlupakan oleh murid-murid.
Disana, di bagian tertinggi dari gedung sekolah, ada Jaemin. Ia duduk di pagar beton setinggi pinggang dengan kaki yang menggantung di atas ketinggian 3 lantai. Seragamnya yang tidak dikancing berkibar bersamaan dengan helaian rambutnya karena hembusan angin pagi.
Hyunjin tidak mengatakan sepatah kata pun saat sudah di samping Jaemin. Membiarkan keheningan menyelimuti mereka sesaat. Sesaat yang mampu membuat Jaemin akhirnya menumpahkan apa yang ada di dalam otaknya.
"Gue yang naksir lo 5 tahun, kesingkir sama orang yang lo taksir nggak nyampe 5 bulan. Tragis, haha...".
"Gue nyesel banget nggak confess dari 2 tahun yang lalu. Kalo seandainya gue ditolak 2 tahun yang lalu, hari ini mungkin gue bisa ribut ngasih selamat sama nagih pajak jadian ke lo. Sekarang? Gue malah kabur karena nggak kuat ngeliat kalian berdua bareng. Payah banget, kan?". Jaemin tersenyum getir di akhir.
Sudah 5 tahun dia menyimpan perasaannya sendiri. Jaemin sendiri tau, Hyunjin tau tentang perasaannya. Sahabatnya itu terlalu peka. Tapi mereka berdua memilih untuk tidak membahas hal itu. Sampai hari ini.
Hari ini, dengan suara yang bergetar, Jaemin menyampaikan pilihannya dengan keputusan yang bulat. "Gi, beberapa hari ini jauhin gue dulu, ya? Gue mau ngebunuh perasaan gue dulu,". Jaemin menoleh, menatap Hyunjin dengan senyum yang membuat matanya menyipit.
Senyum yang dipaksakan. Hyunjin tau itu. Senyum yang seperti itu hanya dilakukan oleh Jaemin jika ia berusaha menahan tangis.
Tapi bagaimana pun itu, Hyunjin menghargai keputusan Jaemin. Menghargai usaha Jaemin yang ingin pertemanan mereka baik-baik saja. Jadi Hyunjin mengangguk dengan senyum tipis. "Makan makanan yang lo suka. Tonton film yang lo suka. Do what makes you happy. Jangan lama-lama ngehindari gue. Racing nggak rame kalo lo nggak ada,".
"Iya. I'll do what u said," Kata Jaemin. Kristal bening itu meluncur dari pipinya, namun segera ia usap dengan cepat. Patah hati pertamanya terasa sangat menyakitkan.
Jaemin turun dari pagar rooftop, lalu berjalan meninggalkan Hyunjin. Sebelum ia benar-benar meninggalkan rooftop, langkah Jaemin terhenti sebentar karena seruan Hyunjin.
"Bukan cuma lo yang berjuang 5 tahun. Langit Jeno Ghaisan juga! Don't forget to talk with him!".
Jaemin tersenyum kemudian melanjutkan langkahnya. Hyunjin selalu saja begitu. Bagaimana dirinya bisa move on dengan mudah kalau Hyunjin selalu menyelipkan perhatian-perhatian kecil dalam setiap ucapan dan perbuatannya? Seperti tadi, Hyunjin jelas tidak mengatakan terang-terangan, tapi ia jelas tidak ingin Jaemin menanggung rasa sakitnya patah hati sendirian.
Hah... Seharusnya lima tahun yang lalu ia jatuh cinta dengan Jeno saja.
---
Jisung turun dari motor kemudian melepaskan helmnya. Matahari bersinar cukup terik siang ini. Mampu membuat Jisung mengernyitkan matanya saat membuka helm.
"Makasih udah nganter gue pulang, Gi," Kata Jisung sambil menyerahkan helmnya ke Hyunjin.
"Udah kewajiban gue, so no need to thank me, Sunshine. Kalo gitu gue pulang, ya?" Kata Hyunjin.
Jisung mengangguk dengan senyum manisnya. Namun melihat Hyunjin yang tidak kunjung bersiap menjalankan motornya membuatnya mengerutkan keningnya lucu. "Kok nggak pulang-pulang?".
"Ngusir gue nih, ceritanya?" Tanya Hyunjin main-main.
Jisung gelagapan. "Bu-bukan gitu maksud gue. Tapi kan tadi lo bilang mau pulang, terus...".
Hyunjin terkekeh. Ia mengacak surai Jisung dengan gemas kemudian mengatakan, "Nggak mau bilang hati-hati gitu ke gue?".
Pipi Jisung merona. Masih belum terbiasa dengan perubahan yang disebabkan status mereka yang bukan lagi sekedar teman sekelas. "Hati-hati di jalan," Lirih Jisung.
"Goodbye kiss di pipi gue nggak ada, nih?" Tanya Hyunjin, sengaja menggoda Jisung dengan mengingatkannya tentang semalam.
Wajah Jisung benar-benar full merah, bahkan sampai telinganya. "Ya-yang semalem nggak usah diinget-inget, ah! Udah sana pulang...", Kata Jisung sambil memberikan gestur mengusir dengan tangannya.
Hyunjin tertawa. Ia menahan pergelangan tangan Jisung, lalu menariknya dengan lembut untuk mendekat. Tanpa intro, Hyunjin mencium kening Jisung dengan sangat lembut.
"I love you, Sweetheart. More than the world,".
---
Hohoho... Bagaimana chapter kali ini? Nggak banyak momen HyunSung nya, maapkeun.
Oh ya, makasih banyak buat yang udah nyaranin lagu di chapter lalu. Aku udah dengerin semuanya, and they're all beautiful! Lagu-lagu yang kalian saranin udah masuk ke playlist nulisku dan udah ngiringin proses penulisan chapter ini :D
Dan... Nggak kerasa book ini udah mau nyampe ending. Kira-kira apa yang masih belum jelas dari cerita ini? Kalo emang masih ada yang kurang jelas, bakal aku coba masukin ke chapter-chapter tersisa yang akan datang.
Anw, thanks for reading~
With Luv,
Felly
[21092021-10:00]
YOU ARE READING
Tentang Dia [HyunSung]
Fiksi Penggemar[END] Tentang Agio Hyunjin Pratama, si pembolos sekolah nomor 1 sekaligus pembalap malam tersohor, yang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Arkananta Jisung Mentari, ketua kelas yang membenci pembolos. "Lo kalo ngeliat Gio nggak bakal nyangk...