December, 31st.

475 35 2
                                    

Jeonghan menyelipkan sebatang Marlboro diantara kedua bibirnya.

Warna merah muda samar perlahan membekas di ujung batang rokok tersebut, mengotori warna putih yang semula bersih tanpa ada noda apapun. Ia menghisapnya dalam-dalam, sambil berharap kenangan sebelum malam tahun baru akan hilang seiring dengan asap rokok yang berhembus dari hidung Jeonghan.

Hari ini Jeonghan sudah menghabiskan waktu hampir empat puluh menit untuk mencapai riasan wajah yang apik. Riasan yang pernah ia pelajari sebelumnya untuk pergi berjalan-jalan dengan orang tercintanya. Bahkan Jeonghan menahan diri untuk tidak merokok selama lima jam agar ketika Wonwoo mencium bibirnya, yang dirasakan hanya rasa mint dari pasta gigi dan perisa ceri dari permen.

Bukan menthol.

Bukan juga sebatang Marlboro.

Semakin Jeonghan mengingat wajah tampan Wonwoo, dadanya terasa nyeri dan sesak. Pacarnya, kekasihnya, cintanya, cahaya dalam hidupnya kini memilih untuk berpisah dengannya tepat di malam sebelum tahun baru. Meninggalkan luka-luka dan juga memori yang belum tentu pantas untuk diingat oleh Jeonghan jika ia akan pergi tidur nanti. Dirinya tidak yakin kalau ia akan baik-baik saja besok pagi. Mungkin tidak. Matanya akan sembab dan membengkak karena Jeonghan tidak bisa berhenti menangis.

Sambil terisak, Jeonghan berusaha untuk berdiri dari posisi yang membuatnya tidak nyaman. Ia berhasil menahan badannya yang mulai lemas, berjalan pelan-pelan sambil menyusuri jalan sempit di tempat tersebut. Pakaian Jeonghan terkoyak di bagian kerah karena Wonwoo menariknya keras-keras.

Bukan untuk menciumnya, tetapi untuk berteriak tepat di wajah Jeonghan.

Jari Jeonghan mengapit batang rokok dan menggigit ujungnya, lalu ia jatuhkan ke tanah untuk diinjak. Tidak peduli dengan harga mahal dari dress shoesnya, Jeonghan menginjak puntung rokok itu berkali-kali dengan penuh emosi. Membayangkan kalau yang ia injak adalah barang milik Wonwoo.

Setelah puas, Jeonghan kembali berjalan kaki sambil mencari jalan keluar. Batin Jeonghan mengutuki Wonwoo yang meninggalkannya di tempat kurang pencahayaan seperti ini. Ia sudah siap seratus persen jika ada seseorang atau gerombolan yang datang untuk menghabisi nyawanya. Jeonghan terlalu dibutakan oleh rasa benci yang mendalam.

"Brengsek! Untuk apa kamu sampai bertanya ke teman-teman kantor saya?!"

"Salahmu! Semua salahmu!" Jeonghan menatap kedua mata Wonwoo, "kamu pergi tanpa ada kabar apapun! Barang-barang pemberianku tidak kamu bawa kesana!!"

"Jelaskan, memangnya setiap surat yang dikirimkan itu sama sekali tidak cukup?!" Ujar Wonwoo dengan ekspresi wajah murka. "Apa saya pernah lupa untuk tidak mengabari kamu yang selalu menelepon saya setiap saat?! Jawab!"

Wonwoo melepaskan genggamannya seraya berdecak keras, membuat Jeonghan tersungkur ke tanah. Sesaat sebelum Jeonghan dapat bangkit, Wonwoo kembali menarik erat rambut Jeonghan hingga Jeonghan mengerang keras. Jeonghan otomatis berusaha untuk mencakar tangan Wonwoo agar ia melepaskan rambutnya yang mulai terasa perih.

Meskipun ada banyak orang-orang di taman, Wonwoo sama sekali tidak peduli pada mereka yang melihat Jeonghan menjerit histeris. Mereka yang tidak tahu Jeonghan, pasti akan langsung bersimpati dan mendaratkan kepalan tangan ke arah wajah Wonwoo yang sudah merah padam. Kepercayaannya hancur begitu saja setelah tahu kalau Jeonghan sering mengirimkan pesan singkat berkali-kali pada teman-temannya hanya untuk menanyakan Wonwoo. Sudah cukup dirinya merasa sangat malu karena ulah Jeonghan sekarang.

"Kenapa? Kamu mau menangis di depan umum lagi?!" Teriak Wonwoo dengan sekuat tenaga tepat di telinga kanan Jeonghan. Suara serak miliknya cukup membuat Jeonghan syok, dan tidak bisa berbicara apa-apa.

confound | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang