"Bagaimana? Boleh kan, kalau sekarang giliranku yang berbelanja bulanan?"
Kalimat itu didengar oleh Jeonghan di pagi hari, ketika ia sedang menyeduh teh susu yang baru-baru ini menjadi kesukaannya. Seungcheol yang tanpa sebab tiba-tiba menawarkan diri untuk pergi ke luar sedikit membuat Jeonghan kaget, ditambah sekarang ia memang sedang malas berbelanja. Namun tatapan Seungcheol cukup membuatnya merasa terenyuh, hingga ia menyuruh Seungcheol untuk mengambil dompet miliknya di kamar.
Awalnya ini semua terasa biasa saja. Tetapi karena sudah tiga jam berlalu dan kepergian Seungcheol membuat perasaan Jeonghan tidak nyaman, semua terasa semakin mencurigakan. Seperti ada yang memukul gong di dalam hatinya berkali-kali, menjadi sebuah alarm dimana Seungcheol saat ini sedang tidak berada di bawah pengawasannya. Pria tersebut bisa saja kabur menuju kota lain atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Membayangkan Seungcheol berbicara dengan orang lain saja sudah membuat Jeonghan merasa sedikit mual.
Astaga, bagaimana jika Seungcheol melaporkannya ke polisi dan membeberkan seluruh kejahatannya semua ini?
Tetapi Jeonghan percaya diri jika Seungcheol tidak akan melakukannya. Lagipula, jenis bukti apa yang bisa Seungcheol berikan kepada kepolisian? Luka bakar dari rokok Jeonghan semalam di pergelangan tangannya tidak akan membantu apa-apa. Mustahil Seungcheol memiliki nyali sementara untuk berpergian saja masih membutuhkan izinnya.
Jeonghan merasa cukup waswas. Ia terlihat tenang sedang duduk di sofa, walau kakinya tidak dapat berhenti bergerak karena rasa khawatirnya sudah seluas samudera. Kebiasaan jelek menggigit jempol kembali nampak ke permukaan. Ia terlihat seperti seseorang yang akan meledak dalam hitungan detik. Seungcheol benar-benar membuatnya merasa muak sampai ke jantung.
"Aku sudah tidak tahan." ujar Jeonghan sambil mengambil jaket jeans milik Seungcheol di gantungan baju. "Jika sesuatu terjadi kepada Seungcheol, antara aku akan bunuh diri atau kami berdua akan bunuh diri bersama di rumah ini."
Begitu, ucap Jeonghan. Mungkin kalimat itu terlihat seperti isapan jempol yang tidak terlalu penting. Namun ia Yoon Jeonghan, mana mungkin janjinya seperti itu akan dilupakan begitu saja? Apalagi setelah merelakan seperempat hidupnya hanya untuk memelihara seorang pria tidak bersalah yang seharusnya sekarang bebas. Jeonghan juga tidak akan melepaskan Seungcheol begitu saja. Tidak mungkin dan tidak akan bisa.
Kaki Jeonghan sedikit bergetar saat ia beranjak keluar dari rumah. Beberapa langkah maju sudah terasa berat karena Jeonghan benar-benar malas untuk pergi dari zona nyamannya. Tetapi Seungcheol melakukan hal yang sama, dan itu menjadi alasan kenapa Jeonghan harus bangkit kali ini saja. Mencari tahu kemana perginya Seungcheol yang beralasan ingin belanja bulanan.
Sayup-sayup terdengar suara dua orang berbincang di dekat lift. Cukup mencurigakan dan sedikit membuat Jeonghan agak terkejut. Padahal bangunan ini jarang sekali mengadakan pertemuan antar penghuni, karena sang pemilik rumah susun sudah meninggal dunia karena kanker tepat setelah Jeonghan membeli rumahnya. Apakah pemilik berniat untuk kembali dan menghantui seisi bangunan? Mungkin.
Namun yang tertawa adalah perempuan. Jadi kemungkinan tadi sama sekali tidak masuk akal dalam aspek apapun. Jeonghan kembali berjalan kaki perlahan-lahan mendekati arah suara tersebut, hingga terpaksa ia bersembunyi di balik sebuah lemari sepatu kecil entah milik siapa. Berharap tidak akan ada penghuni lain yang melewatinya dan bertanya apa yang sedang ia lakukan disini, berjongkok sambil menguping pembicaraan orang lain.
"Bagaimana dengan kabar Jeonghan? Apakah dia baik-baik saja?"
Nafas Jeonghan tercekat. Jika pembicaraan ini sudah menyangkut namanya, sudah pasti yang berbicara adalah penghuni lantai yang sama.
"Ya, dia sehat. Kami berniat untuk membuat roti panggang untuk makan malam."
Seungcheol.
SEUNGCHEOL.
SIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALANSIALAN
Jeonghan langsung berdiri dari tempat persembunyiannya dan berjalan cepat menuju dua manusia tersebut. Sesuai dengan dugaan juga perasaan batin yang tidak pernah salah, Seungcheol yang mengenakan jaket tebal itu membawa plastik belanja dan sedang berbicara kepada wanita yang paling Jeonghan benci selama hidupnya.
Keduanya berdekatan, dengan sikut Mina mengenai dada Seungcheol. Wajahnya terlihat tersipu malu dan itu membuat Jeonghan merasa sangat mual. Ia otomatis menutup mulutnya sembari mendekati dua manusia yang perlahan sadar jika Jeonghan sudah berada di dekat mereka. Tentu saja, Jeonghan tidak akan membiarkan hal ini terjadi begitu saja.
Seperti rusa yang menatap lurus ke arah mobil berkecepatan tinggi, kedua mata Seungcheol membulat ketika melihat bibir Jeonghan melengkung ke atas. Dada Seungcheol perlahan menjadi sesak, sadar sepenuh hati jika ia sudah mengacaukan suasana. Tidak tahu apa yang akan terjadi dan kemungkinan tidak tahu apakah besok Seungcheol akan mati.
"Seungcheol, sayang," Jeonghan memeluk erat pria tersebut dari belakang, "darimana saja? Aku rindu. Tadinya aku akan kembali menonton Cruella sambil menunggu kamu pulang."
Jika suasana berubah drastis menjadi hening, Jeonghan tahu betul jika rencananya ini berhasil. Tiba-tiba Mina merapikan pakaian dan mengambil barang bawaan miliknya dari genggaman Seungcheol. Tetapi hal ini dicegah cepat oleh Jeonghan, yang selalu saja cepat, dengan cara menepis keras tangan Mina hingga perempuan itu sedikit meringis.
Seungcheol? Tentu saja tidak mampu bergeming. Tidak peduli dengan ekspresi Mina yang memelas kepadanya agar ia melepaskan kantong plastik, ia malah lebih peduli dengan fakta kalau sekarang nyawanya sudah berada di ujung jurang. Pelukan Jeonghan yang semakin erat memiliki arti yang berbeda. Seungcheol akan mati hari ini. Seungcheol akan mati sekarang.
Tatapan Jeonghan memancar dari balik bahu Seungcheol yang sudah seperti belati. Seolah menguliti Mina yang semakin lama menundukkan kepalanya, hingga jatuh ambruk ke lantai. Dan sedikit demi sedikit, Jeonghan dapat mendengar isakan pedih dari perempuan tersebut, namun ia tidak semudah itu dibohongi. Tidak ada yang mampu membohongi Jeonghan.
"Mina, kamu kenapa?" tanya Jeonghan. Ia berlutut di dekat perempuan tersebut dan melingkari tangannya di bahu Mina sambil mendekapnya erat. "Kenapa tiba-tiba menangis? Ada apa?"
"Maafkan aku- Jeonghan-" Mina berusaha untuk menjauhi Jeonghan, meskipun itu tidak ada hasilnya karena Jeonghan mengeratkan tangannya. Seperti venus flytrap yang berhasil menangkap lalat di jebakannya. Jeonghan ingin merasa sangat-sangat jahat hari ini.
"Ada apa? Meminta maaf kenapa?"
Semakin keras Mina menangis histeris di depannya, semakin bergetar juga kaki Seungcheol menahan tubuhnya agar tidak ambruk disana. Tetapi menjadi saksi dimana kekasihmu memanipulasi seseorang tepat di depanmu membuat Seungcheol merasa sesak. Bedanya, rasa sakit ini terasa familiar.
Rasanya seperti takut kehilangan. Seungcheol lebih memilih Jeonghan memukulinya bertubi-tubi daripada harus menontonnya berduaan bersama orang lain. Seungcheol takut jika dirinya akan ditinggalkan sendirian di dalam basement lebih dari seminggu tanpa ada makanan atau rasa kasih sayang. Seungcheol ketakutan. Ia takut.
Melihat Seungcheol sudah mulai melemah, Jeonghan langsung bangkit dan menghampiri kekasihnya dengan ekspresi wajah khawatir. Ekspresi ini belum pernah Seungcheol lihat dalam hidupnya, sebuah emosi yang Seungcheol tahu jika ini adalah hari terakhirnya. Antara ia akan mati kesepian dan menyesal hari ini, atau mungkin Jeonghan akan membunuhnya sekarang di depan Mina.
Bagaimanapun hasilnya nanti, ketika Jeonghan sudah berada di depannya, yang akan Seungcheol lakukan adalah memeluk erat badan tersebut sambil meminta maaf. Naas, ia sama sekali tidak sadar dengan keberadaan pisau lipat yang semula berada di saku Jeonghan. Karena sekarang, benda itu sudah tertancap dengan manis di pinggul Seungcheol.
Sesaat sebelum ia tidak sadarkan diri, yang Seungcheol lihat yaitu wajah manis Jeonghan juga Mina yang melambaikan tangan ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
confound | cheolhan
Mystery / ThrillerOrang baik yang terlalu baik pada orang lain, akan terlihat jahat diantara sekumpulan orang baik. Begitu juga dengan orang jahat yang baik diantara orang-orang jahat lain, meski niat bengis mereka hanya berbeda tipis dengan satu sama lain. Maka keti...