Mata Jeonghan berbinar melihat Joshua yang baru saja datang pada malam itu. Meski kedua tangannya menggenggam kantung plastik, Joshua buru-buru melepaskannya di depan gerbang hanya untuk memeluk erat Jeonghan.
"Jeonghan! Aku sudah lama tidak melihatmu tahun ini!" ujar Joshua sambil mengecup kedua pipi Jeonghan. "Bagaimana kabarmu? Kenapa ada disini malam-malam?"
"Lho? Tetapi aku mengabarimu sebelum aku datang kesini.." Jeonghan menyalakan kembali ponselnya, dan melihat data selulernya sudah nonaktif. Bodoh. Tentu saja ia mematikan data dan GPS sejak tadi siang agar tidak ada yang tahu lokasinya.
Joshua mengintip ponsel Jeonghan dan mengerutkan dahinya. Kemudian ia merogoh saku untuk mengeluarkan sekotak tisu basah beralkohol dan menyerahkannya pada Jeonghan. Dengan ekspresi yang masih bingung, Jeonghan hanya menerimanya dan memasukkan benda itu ke dalam saku.
"Kenapa kamu memasukkannya lagi?"
"Memangnya kenapa?" Jeonghan berdecak pinggang, "aku kesini ingin meminjam buku resep makanan milikmu saja."
"Akan aku ambilkan, tetapi setidaknya lap dulu ponselmu." Joshua menghela nafasnya, ia mengambil kantung belanjaan miliknya dan membuka gerbang entah bagaimana caranya. "Aku baru tahu kamu bisa bersemangat untuk belajar memasak hingga ada darah di ponselmu."
"Eh? Aku sama sekali belum memasak hari ini?" ucapnya keheranan. Jeonghan langsung mengambil selembar tisu lalu membalikkan ponselnya, dan benar saja, ada noda merah yang sudah hampir mengering.
Jeonghan menggosok-gosok noda tersebut sambil berharap nodanya akan segera hilang. Untung saja sekarang ponselnya tidak menggunakan case boneka kelinci kesayangannya, karena ia tahu noda tersebut akan semakin susah untuk dicuci. Lagipula, ia benar-benar lupa kapan terakhir kali tangannya terluka atau ponselnya terkena... darah.
Darah? Oh.
Mata Jeonghan seketika membulat ketika sadar jika itu adalah darah dari si pelayan. Manusia yang ada di dalam bagasi mobilnya sekarang. Dengan terburu-buru, Jeonghan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku dan berlari masuk ke dalam mobilnya. Dadanya berdegup kencang bercampur dengan rasa panik karena ia sadar Joshua berdiri sedekat itu dengan badan pelayan. Joshua bisa saja membuka bagasi dan melaporkandirinyakepolisi-
"Jeonghan. Jeonghan!"
Jeonghan tersentak. Ia menoleh ke arah kaca mobil dan melihat Joshua berdiri sambil mengetuk kaca jendelanya. Walaupun Jeonghan masih merasa sangat panik ditambah dengan ketakutan, ia berusaha untuk mengatur nafasnya perlahan-lahan lalu menurunkan kaca jendela.
"Kamu terlihat seperti yang baru melihat hantu di rumahku." ujar Joshua sambil menyodorkan buku masakan. "Untung aku memiliki dua buah buku, jadi yang ini untukmu saja. Jaga baik-baik bukunya ya? Kalau kamu kesusahan dalam memasak sesuatu, cukup telepon aku."
Jeonghan menganggukkan kepalanya. Ia mengambil buku tersebut, namun terlihat sangat kelabakan ketika berusaha untuk menyalakan mesin mobilnya. Matanya masih membulat ditambah dengan wajahnya yang pucat.
"Hey, hey. Tunggu sebentar." Joshua menaruh telapak tangannya di dahi Jeonghan, ia bisa merasakan dahinya agak hangat dari suhu manusia biasa. Wajahnya juga terlihat berkeringat dingin, seperti dikejar oleh seseorang.
Dada Joshua terasa agak sakit, mengingat jika sejak akhir tahun Jeonghan mengalami banyak kejadian yang buruk. Ia masih ingat bagaimana Jeonghan menangis histeris di kakinya dengan rambut yang dicat dengan tidak baik. Sebenarnya Joshua ingin tertawa, tetapi setelah Jeonghan bercerita jika Wonwoo mencampakkannya di ruang publik, Joshua ingin memoles tajam pisaunya untuk membunuh Wonwoo.
"Ada apa Shua?" kata Jeonghan, berusaha untuk terlihat tidak panik. "Aku ingin pulang sekarang."
"Kamu yakin kamu baik-baik saja?"
"Ya- Joshua, aku ingin pulang."
Bagaimana kalau pelayan tersebut sedaritadi menggaruk bagasi sekuat tenaga untuk keluar darisana dan Joshua menyadarinya?
"Terakhir kali kamu ke rumahku saat Wonwoo-"
Jeonghan terdiam membeku di jok mobil. Ia memegang erat setir hingga telapak tangannya terasa merah dan sakit. Pikirannya penuh dengan keinginan untuk pulang ke rumah lalu mengurusi pelayan di bagasinya. Joshua tidak perlu mengurusi apapun, Joshua tidak boleh tahu, JOSHUA CUKUP DIAM SAJA DAN KEMBALI KE RUMAHNYA!
"Jeonghan?" Joshua mengelap pelipis temannya tersebut perlahan. "Kamu baik-baik saja?"
"Aku.. ingin pulang." Jeonghan menatap ke arah Joshua, tepat dengan air mata yang jatuh dari matanya. "Bolehkah aku pulang? Bolehkah?"
Joshua menganggukkan kepala meski ekspresi wajahnya terlihat kaget. Ia menepuk-nepuk bahu Jeonghan sebelum membalikkan badan untuk berjalan kembali ke dalam rumah. Jeonghan menaikkan kaca jendela mobil, dan segera mengambil ponselnya di dalam saku.
Jeonghan berusaha untuk tetap fokus, namun matanya mengucapkan hal yang sebaliknya. Hari ini terlalu melelahkan untuk Jeonghan yang baru pertama kali mencoba melakukan hal di luar nalar. Jemarinya sibuk menyalakan data seluler untuk mengirim pesan maaf pada Joshua, tetapi jemari itu pun sibuk mengelap air matanya yang kerap mengalir di pipinya.
Badannya terasa sakit dimana-mana. Ya ampun, ia lelah. Jeonghan lelah. Ia ingin bahagia untuk sekali saja dan ini balasannya? Apakah dunia memang kejam untuk orang-orang yang ingin senang? Apakah Jeonghan memang tidak boleh merasakan bahagia hingga tersenyum lebar?
Jeonghan tiba-tiba menutup wajahnya malu. Ia berteriak frustasi sambil membiarkan air mata kembali mengalir bebas. Perasaannya tidak peduli dengan riasannya yang sudah rusak dan semakin acak-acakan. Dada Jeonghan terasa sesak, membuat tangisannya meluap pada malam itu.
Tanpa Jeonghan sadari, dua pasang telinga di dalam bagasi tersebut sudah mendengar jeritan pahit miliknya sejak Joshua meninggalkan mereka berdua di mobil.
thank u for supporting and reading confound,
dont forget to vote and comment! thank u♡
KAMU SEDANG MEMBACA
confound | cheolhan
Mystery / ThrillerOrang baik yang terlalu baik pada orang lain, akan terlihat jahat diantara sekumpulan orang baik. Begitu juga dengan orang jahat yang baik diantara orang-orang jahat lain, meski niat bengis mereka hanya berbeda tipis dengan satu sama lain. Maka keti...