February, 1st - PART ONE

246 19 2
                                    

Jam di arloji milik Jeonghan kini sudah menunjukkan pukul tujuh malam tepat. Jeonghan berdiri di samping pintu belakang besar sambil menggenggam tongkat bisbol erat-erat. Bau dari tempat sampah di seberangnya masih bisa ia tahan, beruntung Jeonghan menggunakan dua masker tebal sekaligus.

Jeonghan sudah menunggu kehadiran targetnya cukup lama. Maka jika ada seseorang yang akan menghancurkan rencananya, ia tidak akan segan untuk menghajarnya hingga babak belur. Ia tidak menghabiskan waktu dan juga mempersiapkan barang hanya untuk seseorang menghancurkan apa yang diinginkannya.

"Ada masalah di tempat sampah katanya?" Suara dari dalam bangunan itu terdengar jelas ke luar, "masalah apa lagi yang restoran ini tidak mau tangani?"

Jeonghan tiba-tiba berdiri sigap dan bersandar mendekat ke balik pintu besar itu. Ia mengatur nafasnya sambil masih memegang tongkat miliknya. Bahkan Jeonghan dapat merasakan telapak tangannya agak sakit, tapi semua harus berjalan dengan lancar.

Jika rencana yang ini berjalan sempurna, Jeonghan tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan tentang Wonwoo. Jika rencana ini berhasil, Jeonghan bisa bersorak di atas balkon untuk memberitahu kepada seluruh dunia jika ia sudah bebas sepenuhnya dari mantannya yang benar-benar keparat.

Saat pintu itu terbuka perlahan-lahan, sosok itu langsung saja sadar dengan kehadiran Jeonghan di balik pintu. Matanya pun membulat dan berubah menjadi ketakutan saat Jeonghan mulai menghantam kepala pria tersebut berkali-kali menggunakan tongkat bisbol.

Tanpa rasa ampun, Jeonghan masih saja memfokuskan matanya ke arah kepala pria tersebut meskipun ia dan pria itu sudah saling berada di tanah. Perlawanan dari pria itu semakin lama semakin melemah karena Jeonghan menghantam habis-habisan satu titik di kepalanya. Lambat laun rasa sakit itu membesar, dan mengambil alih kesadaran si pelayan. Ia terkulai lemas di tanah ketika Jeonghan sudah merasa pukulannya cukup untuk membuatnya diam.

Setelah Jeonghan kembali berdiri, ia bisa merasakan jantungnya berdebar kencang ketika melihat badan yang tergeletak di hadapannya malah tidak menunjukkan ciri-ciri orang bernafas. Bahu Jeonghan bergerak naik turun, berusaha untuk menstabilkan nafasnya sendiri karena merasa agak merinding melihat pelayan tersebut. Kedua matanya memang tidak menutup, masih terbuka dengan lebar dan seperti sedang menatap ke arah sepatu Jeonghan.

Tongkat bisbol yang semula Jeonghan genggam kini sudah terjatuh di tanah, bersamaan dengan Jeonghan yang kembali jatuh berlutut menyadari apa yang sudah ia lakukan. Dengan hati-hati, Jeonghan mengangkat kepala pelayan itu dan bisa merasakan sesuatu yang basah mulai muncul dari tengkuknya. Jeonghan berusaha mengecek nadi dan luka-luka parah yang mungkin saja ia sebabkan pada pelayan tersebut.

Bagusnya, hal ini sudah termasuk ke dalam sesuatu yang Jeonghan rencanakan tadi pagi. Meskipun perasaannya terasa sesak dan ia mulai merasa panik, Jeonghan berusaha keras bangkit sambil menyeret badan pria tersebut menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari lokasi. Beruntung malam ini keadaan restoran sedang sepi, karena tidak akan ada yang bisa mencurigai seorang pria cantik menyeret-nyeret pria berdarah yang tidak sadarkan diri.

Tunggu.. mungkin saja ada.

Dengan spontan, Jeonghan mengambil sebuah kantung plastik yang sedaritadi menjadi saksi bisu atas aksi jahatnya. Ia menarik keras-keras tali di atasnya agar bisa membuka kantung dan membuang isi kantung tersebut, lalu Jeonghan membawanya ke pelayan yang masih belum menutup matanya. Jeonghan berusaha untuk memasukkan badan pelayan tersebut ke dalam kantung plastik tadi. Tidak peduli jika isi kantung tersebut kotor atau tidak, yang penting Jeonghan bisa membawa badan ini pulang ke rumah.

Setelah memastikan kantung berisi badan tersebut tidak terlihat mencurigakan, Jeonghan menarik nafas dalam-dalam sambil menarik kantung tersebut menuju lahan parkir. Ia mengerang keras karena tidak menyangka jika pria ini memiliki beban yang jauh lebih berat daripada dirinya. Jeonghan melepas dan mengikat kantung tersebut berulang kali agar ia bisa menggenggamnya dengan baik, tetapi semakin lama Jeonghan sudah merasa tidak kuat.

Dengan harapan dan mungkin satu-satunya ide bagus terakhir yang ada di kepalanya, Jeonghan memutuskan untuk membaringkan kantung plastik tersebut dan menendangnya berkali-kali hingga sampai di depan mobil. Kantung itu menggelinding seperti karung beras dan Jeonghan berusaha untuk menahan tawa. Ia berhenti sebentar untuk mengambil ponselnya di saku celana, lalu membuka kamera ponsel untuk memfoto kantung tersebut. Ini bisa menjadi kenang-kenangan yang baik untuk Jeonghan dan mungkin untuk si pelayan jika ia sudah bangun nanti.

Jeonghan kembali menendang badan tersebut hingga akhirnya sampai di mobilnya. Ia membuka pintu mobil untuk menyalakan mesin dan kembali keluar lagi untuk memasukkan kantung ke dalam bagasi mobil. Setelah memastikan semuanya sudah aman, Jeonghan langsung menancap gas dan pergi ke salah satu rumah temannya yang dekat dari sini.

Sepanjang perjalanan pun, dadanya membuncah dengan rasa adrenalin juga secuil rasa ingin berteriak histeris karena berhasil menjalankan rencananya. Ditambah dengan lalu lintas yang lancar, Jeonghan semakin mantap menginjak gas selama perjalanan. Destinasi jauh Jeonghan yang seharusnya memiliki waktu tempuh setengah jam kini berkurang menjadi dua puluh menit karena dibantu oleh keadaan lalu lintas.

Ketika Jeonghan sudah tiba di lampu merah terakhir sebelum sampai ke tujuan, ia menatap ke arah kaca dan memastikan penampilannya baik-baik saja. Tidak sia-sia Jeonghan mengecat rambutnya lagi agar menyatu dengan gelapnya malam. Tetapi Jeonghan baru saja sadar akan satu hal yang tertinggal di tempat sampah tadi.

Tongkat bisbol milik Jeonghan yang bisa saja masih memiliki darah dari kepala pria di bagasi.

Kepala Jeonghan berputar-putar memikirkan apa yang harus ia lakukan. Jika dirinya berputar balik ke restoran, bisa saja pria yang tadi ia hajar malah tewas duluan di mobil. Dan ada kemungkinan pihak restoran sedang mencari-cari sosok pelayan mereka yang tiba-tiba hilang. Tetapi jika Jeonghan tidak mengambilnya lagi, benda itu bisa menjadi bukti yang kuat untuk Jeonghan nanti, menjadi alasan kenapa ia harus berdiri di balik jeruji besi.

"Ah, fuck it. Aku bisa membeli tongkat itu lagi nanti." gumam Jeonghan sendirian sambil kembali menancap gas saat lampu lalu lintas berganti menjadi hijau. "Kalau mau, seharusnya tangkap saja aku. Memang mereka bisa melakukannya?"

Setelah menempuh beberapa meter lagi di jalan raya, akhirnya Jeonghan bisa melihat sebuah rumah minimalis yang terlihat sepi. Jeonghan memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang lalu mengambil ponselnya di saku celana dan mengirim pesan pada temannya jika ia sudah sampai. Sambil menunggu kedatangannya, Jeonghan mengelap kedua tangan dan seluruh setir mobilnya menggunakan tisu basah, lalu menyemprotkan parfum miliknya di dalam sekeliling mobil. Jeonghan sampai menggosok dashboard dengan kekuatan ekstra karena ada noda merah yang membekas, entah itu darah atau bekas saus tomat dari makanannya tadi pagi.

Jeonghan mendengus saat menyadari temannya belum keluar dari rumahnya. Dengan terpaksa, Jeonghan keluar dari mobil dan berjalan menuju gerbang sederhana yang berwarna abu-abu tersebut. Sebelum Jeonghan akan menekan bel, ia menarik dan membuang nafasnya berkali-kali agar tidak terlihat seperti orang yang baru saja menculik pelayan restoran. Memang tidak akan ada yang sadar, tetapi Jeonghan hanya memastikan diri saja.

Ding dong.

Jeonghan mengintip dari celah gerbang yang terbuka kecil. Rumah tersebut terlihat sepi, sepertinya orang-orang di dalam rumah sudah tertidur atau mungkin sedang pergi keluar. Lampu terasnya saja tidak menyala, hanya ada sumber cahaya kecil dari dalam rumah yang membuat halaman depan itu memiliki hawa agak menyeramkan.

Ding dong.

Lagi-lagi tidak ada sebuah petunjuk atau tanda-tanda jika ada orang di rumah atau tidak. Jeonghan kembali mendengus dengan keras, hampir saja akan memukul gerbang dan mendobrak masuk ke dalam. Sudah hampir lima belas menit berlalu, seharusnya sekarang Jeonghan sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang tidak jauh darisini.

Ketika Jeonghan akan menekan kembali bel tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara derap kaki yang terburu-buru dari belakang Jeonghan. Ia pun membalikkan badannya dan melihat sosok pria berbahu lebar yang menggenggam beberapa kantung plastik berisi belanjaan. Sepertinya ia baru saja berbelanja dan sama sekali tidak memberi tahu Jeonghan jika ia sedaritadi berada di luar rumah.

Bagus sekali.

Kini Jeonghan harus memutar balik otaknya sambil berpikir tentang bagaimana cara ia harus kabur dari situasi ini.

confound | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang