"Sudah lima hari kamu menginap disini. Apakah kakakmu itu tidak khawatir kalau adiknya menginap di lokasi mencurigakan setiap kali kamu menyalakan live location di pagi hari?"
Hansol mengernyitkan dahi dan lanjut menggosok giginya, "Josh knew very well who you are. Bukankah kalian sahabat karib dan pernah berciuman satu sama lain di kelas?"
Kaki Jeonghan otomatis menendang betis Hansol kuat-kuat. Ia menarik selimut sebisa mungkin untuk menutupi badannya yang hanya menggunakan celana dalam dan membalikkan badan dari Hansol. Jeonghan tidak bisa semudah itu mengata-ngatai Hansol sekarang, karena anak ingusan itu berhasil membuat kedua kakinya lemas sejak kemarin malam. Pria yang tadi menggosok gigi itu kini kembali berjalan ke kamar mandi untuk berkumur-kumur, seolah tidak ada dialog yang menyinggung Jeonghan.
Jeonghan berada di kondisi mental yang mengerikan. Dapat disebutkan dengan banyak bukti kalau ia sudah gila dan tidak terlalu khawatir akan kondisi badannya yang mungkin suatu hari nanti akan berhenti bergerak begitu saja, mengingat bagaimana pola makannya yang membahayakan. Sudah lima hari berlalu sejak Hansol datang ke kamar ini dan ikut tidur (juga meniduri Jeonghan), memasak makanan untuk dirinya dan Jeonghan mulai pagi hari hingga malam, bahkan mencuci pakaian menggunakan deterjen kesukaan Jeonghan hingga tersisa sedikit lagi.
Entah kenapa, ia tidak bisa marah kepada Hansol. Pria yang selalu terlihat gusinya saat senyum lebar itu membuat Jeonghan ingin bertahan sedikit lama untuk tetap hidup dan bernafas meskipun ia membuat Jeonghan jengkel setengah mati karena Hansol ketahuan menginjak-injak semua rokok yang ia simpan untuk satu minggu pada dua hari lalu. Rasanya Jeonghan kini terlalu bergantung kepada Hansol selama lima hari dan itu membuat Jeonghan sangat jijik pada dirinya sendiri, namun jantung Jeonghan rasanya lepas ke lantai ketika ia melihat Hansol menggunakan sepatu luarnya untuk pergi meskipun ia hanya membuang sampah saat truk sampah sudah datang satu minggu sekali.
Dalam arti lain, selama satu minggu sekali, Hansol sudah melatih Jeonghan agar dia diam dan berharap Hansol kembali sampai menimbulkan rasa cemas dalam dadanya. Maka secara tidak langsung Jeonghan tidak mampu membiarkan Hansol kemana-mana, dan situasi ini dapat menjadi pedang dua arah bagi Hansol dan dirinya.
Jeonghan berjanji dalam hatinya untuk tidak bergantung lagi sebagaimana ia menggantungkan hidupnya kepada Wonwoo, atau mengulangi tindakan bodohnya dengan menggantungkan hidup dan semua yang ia miliki kepada mantannya sebelum Wonwoo yang pernah membuatnya benar-benar berada di atas langit, sebelum akhirnya Jeonghan dikuburkan sedalam-dalamnya menuju tanah dengan dada yang masih bergerak. Jeonghan tidak boleh jatuh kembali ke dalam lubang yang sama, namun ia sudah nyaman berada di kubangan lumpur yang perlahan menarik kedua kakinya semakin dalam agar menyatu dengan lumpur.
Hansol kembali masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas susu dingin. Pandangannya tidak dapat terbaca dengan jelas, tetapi Jeonghan langsung duduk terburu-buru dan menerima gelas tersebut. Dinginnya gelas merambat ke telapak tangan Jeonghan, membuatnya bangun perlahan dari lamunannya yang tidak berhenti memutar skenario jelek. Pria di hadapannya tidak mengucapkan apapun, melainkan ia mengeluarkan papan setrika dari samping lemari dan menyalakan setrika tanpa peduli. Seolah-olah ini adalah kamar milik Hansol dan Jeonghan hanya seorang pria dari klub malam yang ia bawa pulang.
"Kenapa kamu melakukan ini semuanya?"
Hansol menaikkan bahunya sekilas, "ini semua bergerak secara otomatis. Autopilot, kalau kamu paham." Keranjang yang berisi pakaian itu mulai ia susun satu demi satu, kemudian mulai menyetrika setelah merasakan hawa panas dari setrika.
"Kamu bisa mempersiapkan diri untuk bekerja." Jeonghan menaruh gelas setengah kosong di lantai. "Aku tidak paham kenapa kamu betah berada disini, secara tidak langsung mengurus aku yang-"
"Kondisimu sudah setengah mati."
Jeonghan terdiam. Kalimat tersebut menusuk dadanya.
"Apapun yang terjadi di masa depan nanti bukan urusanku." ujar Hansol, "namun setidaknya aku bisa membantumu untuk melalui apapun yang terjadi saat ini. Aku tidak bisa menyebutkan apa saja yang sudah kamu lakukan untukku di masa lalu, karena aku yakin seratus persen kalau dadamu akan terasa nyeri kalau aku mengejanya satu-satu."
"Hansol-"
"Josh bilang, kamu ini rumit. I thought he was joking for a second, but the moment i stepped my foot inside here, i knew something is wrong." Perkataan Hansol sama sekali tidak pas dengan apa yang ia lakukan sekarang, "ketika orang lain memasang façade mereka untuk menunjukkan kalau mereka tidak apa-apa, justru kamu melakukan yang sebaliknya."
Hansol menghela nafas sembari melipat celana dalam milik Jeonghan. Ia tidak pernah membalikkan badan setelah beberapa menit menyetrika, namun ia bisa merasakan kalau Jeonghan sedang merenung. Entah karena ia tidak terlalu paham bahasa Inggris, atau karena malas berdebat dengan Hansol. Keduanya adalah pilihan yang valid, mengingat bagaimana Jeonghan mampu bertahan hidup hingga sekarang.
"Jeonghan, saat orang lain berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan identitas asli mereka dengan bertingkah sopan dan kaku, bagaimana bisa kamu memohon-mohon dan memelas kepada orang lain sebagai jalan hidup dirimu agar bisa menutupi identitas aslimu?"
"Aku tidak pernah melakukan itu." ucap Jeonghan. "Aku tidak pernah berharap dan tidak pernah memohon seperti orang gila kepada siapapun."
Ia dapat mendengar dengusan Hansol yang berusaha menahan tawa dengan jelas saat mendengar ucapannya barusan. "Katakan itu sekali lagi di depan wajahku. Aku yakin kalau kamu tidak mengatakan hal tersebut, karena aku dan Josh selalu menjadi saksi bisu atas hubungan percintaanmu yang ajaibnya bisa bertahan lebih dari lima bulan."
Badan laki-laki itu menjadi sasaran empuk Jeonghan. Tidak ada bekas luka apapun, tegap, bersih, dan lekukannya terlihat dengan jelas. Hansol memang seperti laki-laki yang normal, seperti laki-laki dalam buku yang digambarkan memiliki kekasih yang sangat cantik, memiliki anjing besar dengan bulu lebat, dan mereka tinggal di sebuah rumah dua tingkat dengan pagar cantik berwarna putih. Ketika Jeonghan meluruskan kedua tangannya, ia tidak melihat apa yang sempat ia harapkan saat masih kecil. Hanya ada beberapa bekas luka serta luka yang mengering, dengan kulit berwarna pucat seperti tidak ada darah yang tersisa.
"Apakah aku harus melakukan sesuatu agar bisa membuktikan kalau aku tidak pernah memohon apapun kepada siapapun?" tanya Jeonghan. Hansol menaruh setrika dalam kondisi berdiri, kemudian membalikkan badan ke arah laki-laki yang berada di atas kasur. Pandangannya terlihat sendu, lengkap dengan senyum tipis yang Jeonghan rasa sama seperti bagaimana orang-orang tersenyum padanya setelah melihat dirinya berjalan terseok-seok di taman.
"I don't know how to say this, Jeonghan." ujar Hansol sembari menghela nafas, "sometimes i feel like no one can save you. Because once they try to touch you," Hansol kembali mengeluarkan senyum itu. Jeonghan tidak suka. "you can't even see the difference between slaps and strokes."
Jeonghan tidak suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
confound | cheolhan
Mystery / ThrillerOrang baik yang terlalu baik pada orang lain, akan terlihat jahat diantara sekumpulan orang baik. Begitu juga dengan orang jahat yang baik diantara orang-orang jahat lain, meski niat bengis mereka hanya berbeda tipis dengan satu sama lain. Maka keti...