June, 6th.

132 13 2
                                    

"Yoon Jeonghan, are you out of your fucking mind?!"

Jeonghan menggigit kuku jempolnya, berusaha untuk mengalihkan perhatian agar ia dapat menahan diri supaya tidak menangis. Rupanya Jeonghan salah memilih waktu yang pas untuk menelepon seorang dokter yang sedang sekarang malah memaki-maki dirinya di seberang telepon.

"Katakan saja Hansol, kamu bisa melakukannya atau tidak?" lirih Jeonghan. "Aku hanya butuh kata ya atau tidak, aku sedang tidak perlu amukan dari siapa-siapa."

"Aku tidak peduli apa yang kamu butuhkan, seharusnya aku tidak mengangkat telepon ini di pagi buta."

"Lalu kenapa kamu memarahi aku? Memangnya aku salah apa?" ujar Jeonghan kesal.

"Aku memarahimu karena niatmu itu benar-benar di luar nalar manusia!" Hansol berteriak. "Apa kamu pernah berpikir tentang apa yang Seungcheol rasakan sekali saja dalam hidupmu?"

Jeonghan dapat mendengar Hansol sedang menghisap rokok dan menghembuskan asapnya dengan gusar. Ia tidak pernah mendengarnya semarah ini, namun ia juga tidak peduli. Jawaban mutlak dari Hansol tentang rencananya adalah tujuan mengapa Jeonghan dengan gugup menelepon Hansol.

"Hansol, jawab pertanyaanku. Kamu bisa melakukannya atau tidak?"

"Aku bisa melakukannya, Jeonghan. Hanya saja-"

"Apa yang menghalangimu? Apa yang menghalangimu sehingga tidak mau membantu aku?!" ujar Jeonghan dengan nada yang semakin frustasi. Tenggorokannya tersekat oleh sesuatu, dan rasanya ia ingin lari, kabur dari semua hal yang sudah terjadi.

"Apa ini yang kamu mau, Jeonghan? Kamu mengambil resiko besar hanya untuk ini saja?"

Jeonghan menggigit bibirnya keras, bersamaan dengan air mata yang mengalir dari pipinya. Ia menganggukkan kepala meski ia tahu kalau Hansol tidak akan melihatnya. Jeonghan kelewat lelah hari ini, mengapa dunia susah memahami dirinya? Permintaan Jeonghan sama sekali tidak muluk-muluk.

"Ya. Meski ini baru rencana," Jeonghan kembali menggigit jarinya, "aku yakin akan melakukan ini hanya untuk Seungcheol saja. Aku tidak akan mundur dengan pilihanku."

Hansol menghela nafasnya panjang-panjang, lalu berdecak sebelum mengatakan, "aku akan tiba ke sana dalam dua puluh menit setelah mengumpulkan apa yang aku perlukan. Aku tidak akan melakukannya hari ini, tetapi aku akan melihat kondisinya saja. Camkan hal itu."

Percakapan pun terhenti begitu saja. Jeonghan mematikan telepon dan badannya merosot ke bawah. Ponselnya tergeletak di lantai, dan jam menunjukkan pukul tiga pagi dimana orang-orang masih tertidur lelap. Ia menangis sambil memeluk kedua lututnya, berharap agar semuanya dapat berjalan lancar supaya pikirannya tidak dihantui oleh rasa bersalah.

Seungcheol sudah melewati banyak hal yang ia lakukan selama beberapa bulan ini. Jeonghan sadar dengan hal itu, namun ia tidak mampu menahan dirinya untuk berhenti agar bisa menjadi manusia yang normal. Pikirannya saat ini mulai mengelupas, seperti cat tembok yang usang di kamar Seungcheol. Semuanya jadi keropos dan berjatuhan menjadi debu.

Jeonghan tidak bisa membayangkan wajah Seungcheol seperti biasanya. Akhir-akhir ini, ia hanya ingin menangis ketika Seungcheol berada di dekatnya. Merasa tidak pantas karena apa yang ia lakukan kepada Seungcheol, entah itu baik atau buruk, malah dibalas dengan rasa sayang juga cinta oleh korbannya sendiri.

Korban. Ya, korban. Seungcheol adalah korban. Jeonghan tahu dan sadar akan hal itu.

Tetapi bukankah ini adalah apa yang Jeonghan inginkan? Ia pernah berharap kepada bintang jatuh jika suatu saat nanti ia ingin memiliki keluarga kecil harmonis dan tinggal dengan bahagia. Jeonghan juga pernah melemparkan koin ke dalam sumur sambil meminta pasangan yang mencintai dirinya apa adanya.

confound | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang