January, 5th.

94 7 0
                                    

Sudah empat hari sejak perayaan tahun baru, dan sudah lima hari berlalu sejak Wonwoo resmi membuat Jeonghan semakin sengsara. Luka bakar yang Jeonghan sengaja ciptakan supaya bisa menghapus Wonwoo lebih cepat dari dalam pikirannya pun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kini ia menjadi kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk mencuci pakaian miliknya yang sudah menumpuk di kamar mandi sejak enam hari yang lalu.

Jeonghan menghela nafas. Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam ruangan seolah memaksa Jeonghan untuk tetap bergerak dan menjalani kehidupan seperti biasa. Namun ia tidak bisa semudah itu untuk bisa kembali ke rutinitas yang biasa ia lakukan, terutama sebelum Wonwoo memutus hubungannya di publik. Jeonghan tidak pernah menyiapkan diri untuk menjadi lajang, maka ketika Wonwoo melakukan hal itu lima hari yang lalu, rasanya dunia Jeonghan kini sudah runtuh berkeping-keping. Tidak menyisakan apapun kecuali rasa sakit yang menumpuk, dan membuat dada Jeonghan terasa sangat berat. Untuk menghela nafas seperti biasa pun Jeonghan harus menarik nafas yang sangat, sangat dalam sebelum bisa dihembuskan perlahan.

Tidak ada efek khusus. Hanya saja, tindakan tersebut membuat Jeonghan sadar bahwa kedua kaki miliknya masih berpijak di lantai keramik dingin. Ia sama sekali belum meninggal, namun jiwanya sudah terbang entah kemana, mungkin sedang mencari tubuh yang lebih layak untuk dihuni daripada badan seorang masokis gay yang diam-diam bisa bertahan hidup dengan memakan roti tawar kupas dan susu kedelai kesukaannya.

Orang tua Jeonghan sempat meneleponnya tiga hari yang lalu. Bukan ingin bertanya tentang kehidupannya, namun sekedar ingin tahu apakah Jeonghan sudah putus dengan Wonwoo atau belum. Mendengar anak sulung laki-laki mereka sudah lajang, keduanya bersorak gembira. Seperti merayakan sakit hati Jeonghan secara tidak langsung, dengan suara yang sangat bahagia tanpa mengetahui lebih lanjut kalau anak sulung mereka sengaja membakar tangannya agar bisa kembali tertawa. Jeonghan hanya bisa berpura-pura terkikik geli di telepon sambil memperhatikan bekas luka di tangannya yang terlihat menjijikkan. Ia terpaksa menutup telepon dengan janji manis kalau akhir tahun nanti akan kembali mengunjungi rumah orangtuanya, tanpa peduli kalau perayaan tahun baru saja baru terjadi sebelum ibunya menelepon.

Tidak tahu juga, sih. Jeonghan belum bisa berpikir dengan baik akhir-akhir ini. Untuk berdiri saja ia harus memegang sesuatu atau ia akan jatuh terjungkal menghantam lantai. Jeonghan merasa jauh lebih tua daripada sebelumnya, mungkin hal ini membuktikan bahwa masa-masa mudanya sudah direnggut habis oleh seorang pria berkacamata yang sebentar lagi akan menjadi dokter muda yang kaya raya. Dan Jeonghan akan menjadi semakin sengsara. Semakin, semakin, semakin sengsara. Seperti kebahagiaan dalam hidupnya sudah disedot habis-habisan tanpa menyisakan apapun untuk Jeonghan.

Hiperbola. Mungkin Jeonghan berpikir seperti ini karena sebenarnya ia belum minum air putih yang banyak hari ini, mengingat ia hanya bisa menangis histeris dan melamun ketika baru bangun tidur tadi. Setidaknya berpacaran dengan Wonwoo selama lebih dari enam bulan kemarin bisa membawa kebiasaan baik untuk Jeonghan. Minum air dengan teratur, contohnya. Meski kebiasaan tersebut sering membuatnya kesusahan karena harus pergi keluar masuk kamar mandi.

Sedotan kaca yang Jeonghan pakai untuk meminum air dari gelasnya mulai agak terasa lucu. Entah karena ia tidak mencucinya setelah meminum kopi, atau karena Jeonghan baru ingat kalau sedotan itu pernah ia gunakan untuk mengaduk susu kedelai dua hari yang lalu. Ia hanya bisa mengernyit ketika rasa yang aneh itu semakin lama semakin kuat di dalam mulutnya. Rasanya seperti meminum isi perut yang ia keluarkan kemarin malam. Hingga saat ini, Jeonghan tidak terlalu sadar dengan apa yang ia lakukan sejak lima hari kemarin. Ia tidak bisa membedakan mana kejadian yang sebenarnya memang terjadi, dan mana yang hanya terjadi di dalam kepalanya namun memiliki pengaruh yang kuat sehingga bisa membuat Jeonghan semakin gila.

Apakah Wonwoo datang ke rumahnya secara diam-diam semalam karena rindu? Tentu saja tidak, dan tidak akan pernah terjadi sampai kapanpun. Atau Wonwoo diam-diam datang dan memasuki kamarnya untuk menemani dirinya hingga malam? Tentu saja, tidak. Kini Jeonghan hanya bisa kembali menghabiskan apapun yang ada di dalam gelasnya itu sambil bersandar ke tembok kamar, dengan kedua mata menatap kosong ke arah kasur yang berantakan. Sama berantakannya dengan isi pikiran Jeonghan yang masih menginginkan Wonwoo untuk kembali ke dunianya.

Entah sampai kapan Jeonghan dapat bertahan hidup seperti ini, sebab mau tidak mau, ia harus bisa membangun dirinya sendiri sampai utuh. Setidaknya agar bisa tetap bertahan menjalani kehidupan, atau mungkin setidaknya sampai ia bisa melihat dengan kedua matanya sendiri apakah Wonwoo ingin kembali ke dalam hidupnya atau tidak. Tetapi berdasarkan missed calls dari Jeonghan untuk mantan kekasihnya itu, ia dapat menyimpulkan kalau Wonwoo memang serius sudah memutuskan dirinya.

Dan kini tangan Jeonghan kembali meraba-raba saku celana untuk mencari rokoknya.

confound | cheolhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang