Tolong hargai author ya, soalnya tuh yang baca beneran banyak tapi vote-nya dikit banget. Pencet bintang tuh gratis loh. Kapan lagi menghargai sebuah karya dengan sesuatu yang gratis dan bisa bebas menikmati. 🤗Bagi kalian yang selalu vote dan komen cerita ini, terima kasih banyak. 💛
This chapter is for you. 😘😘😘___
Arraz duduk bersandar pada kursi kerjanya. Siang ini dia merasa begitu lelah. Mungkin karena beberapa hari ini dia pulang-pergi dari kantor dan rumah barunya yang jaraknya lumayan jauh. Arraz menatap jengah dokumen yang ada di atas meja. Dia sebenarnya hanya tinggal mengecek saja. Namun jika kegiatan itu dia lakukan berulang-ulang jelas membuat kepalanya pusing. Kedua matanya juga sudah mulai buram. Itu tandanya dia harus istirahat terlebih dahulu.
Arraz menatap jam tangannya, sudah hampir jam dua belas siang. Dia mengambil ponselnya yang ada di saku jas. Menekan tombol panggil pada sebuah nomor. Tidak ada jawaban, Arraz mendesah kesal. Mungkin Milly sibuk di sana. Wanita itu tadi bilang ada pesanan mendadak. Harus selesai dalam tiga hari. Arraz tahu Milly memang sudah menghasilkan uang sendiri. Namun dia tidak suka Milly lebih fokus pada pekerjaannya. Arraz masih bisa menafkahi Milly. Bahkan bisa memanjakan wanita itu tanpa kekurangan.
Arraz tersentak karena telepon di atas meja berbunyi. Dia dengan malas mengambil gagang telepon itu. Lagi-lagi urusan pekerjaan, pikirnya.
"Ada apa, Win?" Tanya Arraz pada sekretarisnya.
"Di bawah ada seorang wanita, nyariin lo." Jawabnya langsung. "Dia belum ada janji sih sama lo, tapi katanya mau ketemu. Makanya gue tanya lo dulu." Lanjutnya.
Arraz mengernyit, tidak mungkin Jenny atau mamanya. Para karyawan sudah tahu siapa mereka berdua. Sekretarisnya juga sudah hafal jika itu mereka. Atau bahkan tantenya, Mia.
"Siapa?" Tanya Arraz penasaran.
"Katanya namanya Milly." Jawabnya dari seberang.
"W-what?" Arraz membulatkan mata, dia menegakkan posisi duduknya. "Antar dia ke sini segera!" Pinta Arraz langsung.
"T-tapi lo yakin?" Pertanyaan dari seberang membuat Arraz mengernyit lagi.
"Yakinlah. Anter dia ke ruangan gue, Erwin! Buruan!" Ujar Arraz tak sabar.
"O-oke." Jawab Erwin dari seberang, justru kali ini pria itu yang terdengar bingung.
Erwin adalah sekretaris Arraz di kantornya. Arraz tidak memperkerjakan wanita sebagai sekretaris seperti yang dilakukan pimpinan perusahaan pada umumnya. Dia lebih memilih temannya, Erwin yang menempati posisi itu. Arraz sendiri sudah kenal bagaimana Erwin. Jadi dia sudah percaya dengan temannya itu.
Arraz menutup laptopnya dan membereskan beberapa berkas. Dia seketika merasakan euforia pada dirinya. Entah kenapa, hanya mengetahui Milly datang ke kantornya saja membuat dirinya senang. Hal itu memang di luar dugaan Arraz. Dia kira Milly sibuk dengan pekerjaannya di rumah. Milly bahkan tidak mengangkat teleponnya.
Arraz duduk tegap di kursinya dan terus menatap ke arah pintu. Menunggu Erwin datang bersama dengan calon istrinya itu. Arraz penasaran kenapa Milly jauh-jauh mau menemuinya. Arraz sempat berpikir mungkin ada hal penting. Namun Arraz tidak peduli Milly akan membawa kabar apa atau bagaimana. Yang jelas di senang sekarang.
Tak berapa lama pintu ruangannya diketuk. Setelah itu langsung dibuka oleh orang yang dari luar. Muncullah sosok Erwin bersama seseorang di belakangnya, Milly. Erwin memasang wajah cemas, sementara Milly tersenyum manis padanya. Arraz menatapnya dengan senyum simpul juga. Arraz Segera bangkit dan menyambut Milly.
"Hai!" Sapa Milly pelan dan lembut.
"Duduk dulu aja!" Arraz tersenyum kecil dan mempersilakan Milly duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Milik Kita (Sequel Bukan Milikku) [Telah Terbit]
RomanceTelah terbit di Gente Books! Novel Bukan Milikku dan Milik Kita terbit jadi 1 buku ya, Guys. Judulnya jadi Bukan Milikku (Milik Kita). Untuk info pemesanan bisa hubungi Author! 🧡 ___ Perasaan bersalah menghantui Arraz selama lima tahun terakhir. Aw...