Hai lagi 😘😘😘
Aku update lagi spesial buat cerita ini yang udah mencapai 50k pembaca. Aku gak menyangka akan menembus angka segitu. Ya meski vomennya gak seimbang wkwk.
Makanya jangan lupa vomen ya. 🤗Selamat membaca 💛
___
"Oke, aku lega." Arraz tersenyum kecil. "Lalu, hal apa yang ingin kamu omongin sampai-sampai kamu datengin aku di kantor?" Lanjutnya pada pertanyaan inti.
Milly terlihat gugup setelah mendengar pertanyaan Arraz. Arraz ternyata tahu jika kedatangannya ada maksud tertentu. Sebenarnya Milly ingin mengurungkan niatnya untuk bicara tadi. Namun Arraz sudah menebaknya, tapi Milly ada rasa ragu untuk mengatakannya.
"Jawab, Mill!" Pinta Arraz lagi.
...
Milly menjilat bibir bawahnya yang terasa kering. Ada alasan kenapa Milly bisa pergi ke kantor Arraz. Ada alasan juga Milly meninggalkan anak-anaknya di rumah. Salah satu hal yang membuat Milly ingin menemui Arraz juga.
"Agak gak enak sih ngomongnya, tapi gimana ya." Milly tersenyum kecil ke arah Arraz.
"Omongin aja, Sayang!" Arraz bergeser mendekat ke tempat Milly duduk. Dia meraih tubuh Milly dan mendekapnya.
"Perusahaan kamu dalam keadaan baik-baik aja kan, Raz?" Tanya Milly sebelum menjawab pertanyaan Arraz.
"Iya, baik-baik aja. Kenapa emang?" Arraz membelai lembut rambut Milly.
Arraz tampak berpikir kenapa Milly menanyakan hal itu padanya. Sepertinya Milly juga tidak begitu paham dengan urusan perusahaan. Dan Arraz tahu ada maksud tersendiri dari pertanyaan itu. Milly pasti punya hal lain yang akan dia bicarakan lagi.
"Berarti kalau aku pinjem uang bisa dong ya?" Milly menggigit bibirnya setelah mengatakan itu.
"Apa?" Sahut Arraz terkejut.
Arraz mengernyitkan dahi. Satu tangannya mengangkat dagu Milly. Membuat gadis itu mendongak menatapnya. Milly memang terlihat malu dan ragu menanyakannya.
"I-iya itu, aku mau pinjem, Raz. Jumlahnya gak dikit." Ujar Milly lagi.
"Mau buat apa emang?" Tanya Arraz sebelum menanyakan seberapa banyak uang yang akan dipinjam Milly.
"B-buat bikin toko jahit." Milly berucap pelan.
Arraz masih mengernyitkan dahi, tanda menunggu Milly melanjutkan kata-katanya.
"Jadi gini, Raz. Kan kemarin-kemarin aku ngadain pelatihan ke remaja-remaja. Jadi aku berpikir kalau aku bikin lapangan pekerjaan bagi mereka, itu akan sangat membantu mereka." Jelas Milly.
"Terus?" Arraz masih ingin mendengarkan kata-kata Milly selanjutnya.
"Pesananku semakin hari semakin banyak, Raz. Kayaknya enggak mampu kalau aku sendiri yang mengerjakan. Aku butuh orang lain buat bantuin pekerjaanku. Aku juga udah punya banyak pelanggan. Jadi aku bisa mengembangkannya lagi." Lanjut Milly.
Arraz mengangguk paham, senang karena kedatangan Milly bukan untuk membahas suatu hal yang buruk.
"Aku udah punya tabungan, Raz. Tapi aku tahu itu enggak cukup buat mendirikan industri itu. Mungkin baru bisa buat bayar sewa tempatnya." Lanjut Milly dengan jujur.
"Rencanamu bikin di mana? Kamu udah tahu tempat yang mau kamu buat jadiin toko itu?" Tanya Arraz tenang.
"Ada tempatnya, gak jauh dari rumah. Dulu di sana juga bekas perusahaan jahit kecil-kecilan. Jika aku menyewa di sana, aku tinggal renovasi. Sama beli peralatannya. Sebagian mau aku buat butik juga. Buat jual hasil produksi para pekerja." Jelas Milly lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Milik Kita (Sequel Bukan Milikku) [Telah Terbit]
RomanceTelah terbit di Gente Books! Novel Bukan Milikku dan Milik Kita terbit jadi 1 buku ya, Guys. Judulnya jadi Bukan Milikku (Milik Kita). Untuk info pemesanan bisa hubungi Author! 🧡 ___ Perasaan bersalah menghantui Arraz selama lima tahun terakhir. Aw...