Alka bangun tidur dalam keadaan sembab. Ia tidak sadar berapa lama ia menangis semalam. Sepulangnya dari kafe, Alka secara tidak sadar menumpahkan air matanya lagi sampai lelap.
"Ikut ke Juanda yuk, Al! Nganter Luna sekalian sorenya kamu bisa langsung ke pul bus," ajak Isna ketika melihat wajah murung Alka.
"Naik apa, Yuk?" Alka bertanya. Kalau harus naik angkutan umum, sepertinya Alka tidak siap. Selain bisa meramu kenangan, tenaganya juga sudah terkuras.
"Mobil, Al. Nanti diantar Mas Arya dan temannya." Isna menimpali.
Alka hanya mengangguk saja tanda setuju. Lagipula, ia juga tidak bisa berpikir jernih jika harus ditinggal sendirian di kamar. Teman kosnya yang lain juga sudah mulai pulang ke kampung halaman.
"Berangkat kapan, Yuk?" tanya Alka lemas.
"Sekitar pukul enam dari sini. Soalnya jadwal penerbangan Luna siang nanti. Biar nggak buru-buru juga, 'kan?" Isna berkata sembari bersiap-siap karena mobil jemputan sebentar lagi datang.
Alka seketika bangkit dari ranjang. Lalu, ia menyiapkan kopernya yang sudah rapi sejak dua hari yang lalu. Kemudian, Alka mengambil tas ransel untuk menaruh barang-barang yang kira-kira dibutuhkan ketika di bus nanti.
Selang setengah jam, Alka sudah siap dengan pakaian santainya, yaitu kaos lengan panjang yang satu set dengan celana berwarna biru dongker serta bergo dengan warna senada. Tak lupa, ia juga membawa jaket karena di bus biasanya akan terasa sangat dingin. Selain itu, Alka memakai sepatu kets berwarna putih andalannya.
"Udah siap, Al?" tanya Luna yang juga sudah tampak rapi.
"Udah, Lun." Alka menjawab sambil melihat penampilannya sekali lagi. Ia sungguh menyesali hatinya yang teramat rapuh karena berakibat buruk pada kantung matanya yang kini bengkak, seakan habis kena gigit lebah. Padahal, Alka sudah menutupinya dengan sentuhan make up yang sedikit tebal dari biasanya, tetapi tetap saja kentara.
Setelah memastikan kalau tidak ada barang yang tertinggal, Alka segera mengunci pintu kamar. Lalu, ia ke rumah Ibu Kos sebentar untuk berpamitan lagi sambil mengembalikan kunci. Sebenarnya, acara pamit sudah ia lakukan semenjak bakda Subuh tadi. Namun, rasanya tidak enak kalau langsung pergi begitu saja.
Acara berpamitan dengan penghuni Bunga Desa dan Ibu Kos pun selesai. Suasana haru menyelimuti perpisahan itu.
Kini, Alka menangis lagi.
"Halo, Alka. Apa kabar hati?" tanya seorang laki-laki dari balik kaca jendela mobil, ketika Alka baru saja keluar dari rumah Ibu Kos.
Alka sontak terkejut melihat sang penyapa itu. Lelaki itu adalah Randi, salah satu teman Kay dan juga temannya sewaktu ujian akhir di Borobudur kala itu.
Sebenarnya, Alka ingin marah mendapat pertanyaan bernada sarkasme itu. Namun, ia juga tak ingin menghabiskan energi untuk menanggapi. Akhirnya, ia memilih diam dan mencoba mengalihkan pertanyaan.
"Kamu kok bisa di sini, Ran?" tanya Alka setelah memasukkan kopernya di bagasi mobil.
"Tatapan matamu memang terkunci untuk satu orang saja ya, Alka. Makanya, nggak heran sih kalau hamba Allah setampan ini seolah invisible," ucap Randi memelas.
"Nggak usah didengarkan, Al," kata Arya yang duduk di balik kemudi.
Dari penjelasan singkat yang diucapkan Luna, Alka baru paham kalau Randi adalah salah satu karyawan di kafe milik Lingga. Lelaki itu kerja part time di sana.
Pandangan mata Alka tertuju pada bagian dalam mobil. Di depan sudah terisi Arya dan Randi. Lalu, di bagian tengah sudah dipesan Isna dan Luna karena keduanya beralasan kalau duduk di belakang pasti mabuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHTARA (SUDAH TERBIT)
Teen FictionAlka Radhika, remaja berusia enam belas tahun baru saja mengalami kecelakaan maut bersama keluarganya sampai menyebabkan sang paman meninggal. Rasa trauma menghantui gadis remaja itu sepanjang waktu. Sehingga, ia memutuskan untuk hijrah dari kampung...