10. Pulau Merah

27 15 4
                                    

Tepat pukul setengah enam pagi, cuaca masih berkabut. Alka masih betah di kamar, menyaksikan pepohonan hijau yang mengintip dari balik jendela.

Sepagi ini, Alka masih terpikirkan oleh kejadian tadi malam, tentang rasa malu yang tiada terperi serta perihal rasa yang harus dipaksa gugur sebelum bersemi.

"Kalau Allah sudah berkehendak, manusia nggak bisa nolak, Al! Tinggal lebih dikencangkan lagi doa-doanya. Rayu Dia dengan sungguh-sungguh. Yakin saja! Allah adalah sebaik-baik perencana."

Hati Alka berusaha memberi penjelasan. Namun, ia lantas tersadar bahwa kemungkinan itu sangat tipis. Sebab, ia kerap menjadi saksi kisah cinta berakhir duka karena perbedaan kasta. Ia berkali-kali mengamati momen kegagalan semacam itu. Maka dari itu, ia harus mengubur dalam-dalam percikan rasa agar tidak hancur ketika harapan itu tidak ada.

"Seperti sebuah garis takdir yang tak bisa ditentang, kalau Gus dan Ning itu sudah menjadi satu kesatuan. Siapa kamu yang berani-beraninya melambungkan harap, Al?" lirih Alka sembari menyeka bulir bening yang tak sengaja turun dari netra.

Ketentuan tak kasat mata menyoal hubungan antara Gus dan Ning itu sungguh nyata.

Suatu hari, Alka pernah meluapkan protes, "Memang harus gitu ya ... Gus kudu menikah dengan Ning?"

"Untuk menjaga kualitas silsilah, Al. Makanya, keluarga pesantren kerap melakukan sistem perjodohan. Diharapkan, akan melahirkan generasi penerus yang memang terjaga bibit dan bobotnya," teman Alka menjawab.

"Berarti ... menjadi manusia yang baik saja tidak cukup untuk bersanding dengan jajaran keluarga mereka? Duh ... poor me." Alka berucap dengan nada memelas.

Poor me?

Saat itu, Alka benar-benar hanya bercanda. Kalau bisa mengulang, ia tidak akan mengungkapkan sebuah candaan yang bisa menjadi bumerang untuk dirinya sekarang. Sebab, kini, ia mengalami itu sendiri. Rasa yang masih terus ia sangkal itu tanpa sengaja jatuh pada salah seorang dari keluarga mulia yang bahkan untuk masuk ke dalamnya pun ia tidak bisa. Tembok penghalang itu menjulang tinggi, membuat Alka harus rela hanya sebatas menjadi pengagum saja, karena menjadi pendamping pun sudah jelas tak direstui semesta.

"Fokus pemulihan diri dulu ya, Al!" Alka mencoba menenangkan diri.

Alka menghela napas, lalu beranjak ke luar kamar. Ia memutuskan untuk menuju ke bagian belakang rumah. Kini, ia sendirian saja. Sebab, Simbah ke Ladang sedari bakda Subuh tadi untuk mengawasi para pekerja yang sedang memetik buah jeruk dan semangka hasil tanamannya. Sedangkan, Anda sedang menghadiri acara yang Alka tidak mengetahui detailnya. Katanya, nanti siang sudah pulang.

Sesampainya di belakang rumah, Alka disuguhi pemandangan yang begitu indah. Banyak pepohonan besar di sebelah kanan dan kiri. Ada juga aneka macam sayur mayur yang mengitari satu petak tanah milik Simbah. Kemudian, mata Alka terpaku pada lautan yang tampak samar dari balik pohon. Memang benar bahwa tak jauh dari rumah Simbah, ada sebuah pantai yang menarik hati. Namun, melihat hamparan air laut dengan jarak pandang sekitar lima ratus meter dari belakang rumah merupakan suatu penampakan yang berbeda.

"Aku kuat." Alka berbisik pelan.

Alka merinding. Badannya mulai menggigil. Dadanya bertalu-talu, berdebar begitu hebat. Selalu seperti ini, setiap kali memanjakan mata dengan melihat genangan air yang terlampau banyak seperti air di kolam renang atau lautan, ia selalu gemetar. Tentu saja, semenjak kejadian kecelakaan yang ia alami kala itu.

"Allah." Alka berucap lirih, merapal doa tanpa jeda. Sekuat tenaga, ia mencoba melangkah dengan tempo yang cepat ke dalam rumah. Lalu, ia meneguk segelas air dingin yang diambilnya dari kulkas.

IKHTARA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang