14. Tarik Ulur

22 13 0
                                    

Seminggu berlalu semenjak kejadian Kay yang tertangkap basah di kafe waktu itu. Ah, bukan. Lebih tepatnya, Alka yang terjebak pada harapan kosong yang ia ciptakan sendiri.

Sebenarnya, ada beberapa pesan yang masuk dari Kay yang meminta Alka untuk bertemu. Namun, gadis itu menolak secara halus. Ia beralasan sedang mengerjakan tugas dari pelajaran tambahan yang ia ikuti. Padahal, itu hanya alibinya saja agar pertemuan dengan lelaki itu tertunda, dalam batas waktu yang belum ditentukan tentunya. Sebab, Alka sendiri tidak paham kapan ia siapnya.

Sekitar seminggu dua kali, Alka memang ikut dalam kelas tambahan. Yakni,
Speaking dan TOEFL. Untuk TOEFL, materinya diberikan pada sore hari setelah pelajaran utama selesai. Sedangkan untuk Speaking, jadwalnya bakda Isya. Untung saja, Alka dan Kay tidak mengambil kelas tambahan yang sama. Sehingga, kemungkinan bertemu itu sangat kecil.

"Kamu tadi lihat Kay di bawah, Al?" bisik Isna ketika di kafe waktu itu.

Alka hanya diam. Tanpa dikatakan lebih detail, Isna bisa melihat dengan jelas dari perubahan sikap Alka. Raut wajah gadis itu berubah muram. Fokusnya juga berantakan. Sebab, sepanjang makan di kafe, Alka tidak konsen mengikuti obrolan teman-temannya. Bahkan, ketika diberi pertanyaan pun, terkadang jawabannya tidak nyambung.

"Cewek itu temen kelasku. Banyak yang bilang keduanya memang dekat. Bahkan, beberapa teman kerap memergoki mereka berduaan. Alasannya sharing, sih. Aku juga nggak paham. Soalnya, baru sekarang lihat secara langsung."

Penjelasan Isna kala itu berhasil membuat mood Alka makin buruk.

"Jujur, teman kelas pada kecewa sama Kay. Dulunya, dia 'kan begitu tertutup. Sangat menjaga jarak dengan cewek juga. Anehnya, sekarang malah terlihat intim gitu sama Shafa."

"Ow ... namanya Shafa." Hanya sekelumit kata itu yang bisa Alka keluarkan. Selebihnya, Alka hanya pura-pura mendengarkan. Padahal, arah pikirannya tidak karuan.

"I ain't a kite, Kay," lirih Alka sambil
mengusap bulir bening yang terjatuh di pipi.

Kali ini, Alka benar-benar merasa laiknya layang-layang, yang bisa ditarik ulur sesuka hati. Alka begitu menyesali sisi hatinya yang terlalu bersorak riang karena mendapat curahan perhatian. Padahal, jelas-jelas Kay memang dekat dengan setiap insan, dan mungkin sikap penuh perhatian itu memang murni kepiawaian lelaki itu. Sehingga, menciptakan rasa nyaman adalah ahlinya. Termasuk, pada dirinya dan perempuan itu.

"Cengeng banget sih, Al!" Alka kesal pada dirinya sendiri, yang sengaja meneteskan air mata demi laki-laki.

"Traktir, Mas! Buat menghibur seseorang yang sedang patah hati." Ucapan Luna ditujukan pada Lingga. Gadis itu mengucapkan itu sambil melirik ke arah Alka. Kala itu, Alka terkejut. Lalu, ia menoleh ke arah Isna yang hanya menyengir saja, seperti tidak mengetahui apa-apa.

"Siap!" jawab Lingga disertai dengan senyuman lebar.

Momen di kafe saat itu benar-benar membekas di hati Alka. Ia tidak menyangka kalau ia menjadi objek ledekan di acara makan bersama waktu itu.

Alka lantas bangkit dari kasur. Ia melihat teman kosnya sedang bercanda di luar kamar. Lalu, mata Alka tertuju pada ranjang tingkat di atas kepalanya. Ia mengamati gerak-gerik Isna yang seperti orang kasmaran. Raut wajah gadis itu terlampau ceria. Padahal, Isna hanya mengobrol lewat telefon saja. Namun, rona bahagia begitu kentara.

"Seneng ya ada yang perhatian begitu? Apalagi, kalau tulus," ucap Alka sembari melangkah kembali ke kasur. Ia sedang tidak berminat berkumpul dengan anak kos yang lain. Sungguh, Alka hanya ingin sendirian.

Alka kembali mengambil ponselnya yang sedari tadi ia letakkan sembarangan di area kasur. Isi dalam ponselnya tidak ada yang penting, selain pesan-pesan dari Kay yang masih Alka biarkan tanpa balasan.

IKHTARA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang