"Pikiran mas udah terlalu banyak, sekarang kamu makin nambah pikiran mas, mas pusing, capek. Jadi tolong berhenti kayak gini dek, bisa kan?"
Oke, Dama sudah melewati batas. Jendra harus menghentikannya, karena Jendra tahu betul-sehabis ini Dama akan menyesali semua yang sudah dia ucapkan.
"Cukup. Lo keterlaluan mas. Gata, ayo!"
Plak
Tangan Jendra dihempas begitu saja oleh Gata.
Jendra sedikit kebingungan, adiknya kenapa? Bukankah Jendra bermaksud baik? Apakah Gata marah terhadapnya? Tapi Jendra tidak memarahinya.
"Ga perlu."
Gata mengambil napasnya dengan serakah. Terserah kalau dia collapse nanti. Gata cuma tidak mau dianggap lemah, dia mau menyelesaikan semua permasalahannya.
"Aku udah minta maaf, ga tau berapa kali. It's okay kalau mas memang ga mau maafin, aku paham. Aku janji setelah ini aku ga nyusahin mas lagi. Buat bang Jendra, makasih udah mau belain, tapi abang tau ga sih?"
Gata menatap Jendra dengan tatapan menyakitkan, Jendra yang menyadari tatapan itu merasakan napasnya tercekat. Apakah rasanya sesakit itu?
"Dengan Abang yang selalu belain Gata, Gata jadi dianggap remeh sama kakak sendiri. Gata bakal berusaha lebih dewasa, mas Dama ga perlu ingetin lagi."
Sekarang giliran Dama yang ditatap oleh Gata. Respon yang ditatap itu juga tidak beda jauh dari Jendra.
"Mas Dama ga perlu ngingetin lagi. Gata tau Gata nyusahin. Tapi makasih karena udah ngingetin, seenggaknya aku jadi tau diri."
"Gata ke kamar dulu, belum minum obat. Kalian jangan tidur malem-malem, cukup aku yang sakit, kalian jangan kayak aku."
Detik itu juga, kalimat Gata menghancurkan dua hati.
Hati yang masih dicoba untuk dirangkai kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata dan Asa [✓]
General Fiction"Maaf..." Sekali lagi Gata mendengar suara di seberang sana gemetar, mata mereka pasti berlinang. Kedua kakaknya menangis, dan itu karena dirinya- -yang semakin mempertanyakan alasan dia dilahirkan ke dunia. "Setiap malam, angin-angin itu seolah b...