"Abang udah bilang, kalau mau ngapa-ngapain bilang ke abang. Abang ini kakak kamu Agata!"Gata sudah tidak tahu berapa kali dirinya menghela napas. Dirinya dikejutkan oleh tampilan kakaknya yang acak-acakan.
"Kamu tau ga sih? Abang cari kamu ke sekolah, hujan-hujanan, tanya sana sini. Seharusnya kamu bilang sama abang kalo kamu udah sampe rumah."
Gata masih menundukkan kepalanya, tak berniat menatap kakaknya yang nampaknya masih sangat marah itu.
"Pokoknya, lain kali abang ga mau tau. Kalo ada sesuatu langsung kabarin, kalo kamu ga mau nurut, sekalian ga usah minta bantuan abang lagi. Abang capek Gata!"
Gata meringis kala mendengar suara pintu ditutup keras. Kakaknya itu benar-benar marah. Gata sadar ia salah, salah karena lupa mengaktifkan handphone-nya yang habis baterai sepulangnya dari sekolah tadi.
Tapi ini bukan kesalahan Gata sepenuhnya kan? Kakaknya itu yang susah dihubungi sejak tadi. Gata ingin marah, tapi rasanya marah saja dia sudah tidak punya tenaga lagi. Akhirnya, Gata memilih untuk merebahkan tubuhnya di kasur. Beristirahat sebentar, harinya begitu melelahkan.
"Assalamu'alaikum."
Tidak ada jawaban.
"Udah pada tidur kah?" Monolog Dama.
Sudah tepat tengah malam saat dia menjajaki rumahnya. Lampu disebagian ruangan memang sudah dimatikan, tetapi Dama bisa menangkap jelas senyap suara tv yang masih menyala—didepannya sesosok pemuda duduk sambil memeluk selimutnya.
Dama menggeleng heran saat melihat, pemuda yang tidak lain adalah Jendra—tertidur dengan posisi terduduk di depan tv.
"Ini kamu yang nonton apa tv yang nonton kamu sih, bang?"
"Bangun, bang. Pindah tidurnya, nanti sakit." Dama sedikit mengguncangkan tubuh adiknya yang masih nyaman tidur dengan memeluk selimut itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata dan Asa [✓]
Beletrie"Maaf..." Sekali lagi Gata mendengar suara di seberang sana gemetar, mata mereka pasti berlinang. Kedua kakaknya menangis, dan itu karena dirinya- -yang semakin mempertanyakan alasan dia dilahirkan ke dunia. "Setiap malam, angin-angin itu seolah b...