"YaAllah adek ..."Dama terduduk lemas kala Jendra datang ke hadapannya dengan tangis yang berderai. Awalnya Dama heran, tumben sekali adiknya menangis sampai seperti ini. Waktu kematian kedua orangtuanya saja, Jendra tidak menangis sampai seperti ini. Saat mendengar penuturan dari Jendra, Dama merasa sama hancurnya.
Dama yang baru saja menjalani pemeriksaan memang harus beristirahat terlebih dahulu. "Jadi sekarang Gata gak sadar, Jen?"
Jendra mengangguk.
"Aku gak bisa liat adek terbaring lemah kayak gitu mas, aku gak sanggup." Jendra menggeleng-gelengkan kepalanya sembari memeluk Dama erat. "Adek, gak boleh ... Jendra gak mau Tuhan ambil adek, ambil Jendra aja--"
"Shht, kamu kok malah ngomong gini sih, Jen? Gak boleh kayak gitu, bedanya kamu atau Gata yang diambil apa? Kamu tega ninggalin mas, mas jadi sebatang kara." Tegur Dama sambil mengusap punggung Jendra yang gemetar.
Nada bicara Jendra sejak tadi kurang jelas, mungkin karena dirinya yang menangis tertahan. Rasanya untuk bernapas saja susah, tapi masih memaksa untuk berbicara, sesekali marah pada takdir yang menimpa keluarganya. Dama menghela napasnya. "Kamu mau nangis begini terus atau gimana, Jen?" Jendra menatap Dama yang kali ini balik menatapnya, dengan tatapan kosong tentunya.
"Berdoa."
Dama menundukkan kepalanya, tangisnya tidak dapat ia tahan. "Berdoa biar adek gak diambil sama Tuhan, gak, sebelum kita duluan yang Tuhan panggil."
Dama seratus persen hancur.
Hatinya kembali retak. Keping-keping memori yang sudah lama ingin ia lupakan, kini perlahan kembali hilir mudik dipikirannya. "Ini semua salah aku ..."
Jendra menggelengkan kepalanya, menahan tangan Dama yang mulai menjambak rambut hitam lebatnya. "Gak. Mas ... Kamu gak salah, please jangan kayak gini. Aku mohon ..."
Oksigen ia hirup rakus. Kepalanya menengadah, menatap atap putih yang mulai terlihat usang diatasnya.
"Aku yang gak bisa jaga kepercayaan Bunda ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata dan Asa [✓]
Beletrie"Maaf..." Sekali lagi Gata mendengar suara di seberang sana gemetar, mata mereka pasti berlinang. Kedua kakaknya menangis, dan itu karena dirinya- -yang semakin mempertanyakan alasan dia dilahirkan ke dunia. "Setiap malam, angin-angin itu seolah b...