Jendra dan Dama menoleh kearah pintu saat mendengar derap langkah dari luar sana. Keduanya kemudian saling bertatapan, lalu sedetik kemudian bangkit dengan tergesa.
Satu-satunya tujuan mereka adalah kamar adiknya—Agata.
"Dek?"
Dama berusaha memutar kenop pintu kamar Gata, namun nihil, Gata mengunci pintunya dari dalam.
"Mas, gak bisa juga?" Tanya Jendra resah.
Dama menggeleng sebagai jawaban.
"Dek, pintunya dibuka, ya? Tolong buka ya, Mas Dama sama Abang Jendra mau masuk, boleh?" Bujuk Dama lembut, ini bukan pura-pura. Perkataan kali ini tulus tanpa tipu muslihat didalamnya.
"..."
Gata urung juga menjawab sama sekali. Hal itu tentu saja membangkitkan rasa cemas teramat sangat pada adik mereka itu.
"Dek, seenggaknya jawab aja ya? Adek baik-baik aja kan didalam sana? Adek ada yang mau diobrolin sama Abang sama mas? Ayo kita ngomong dek, Abang tunggu didepan kamar ya?"
"..."
Dama memejamkan matanya, menempelkan dahinya ke pintu kamar Gata, "Maaf dek, mas gak bisa berbuat apa-apa lagi, masih sama kayak waktu itu."
"Maaf..."
Sekali lagi Gata mendengar suara di seberang sana gemetar, mata mereka pasti berlinang.
Kedua kakaknya menangis, dan itu karena dirinya lagi. Dirinya yang semakin mempertanyakan alasan dia dilahirkan ke dunia.
"Adek masih gak keluar juga bang?" Tanya Dama yang baru saja kembali dari dapur setelah menyiapkan sarapan.
Jangan tanya tangannya sudah sembuh atau belum, ya jelas belumlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gata dan Asa [✓]
Ficção Geral"Maaf..." Sekali lagi Gata mendengar suara di seberang sana gemetar, mata mereka pasti berlinang. Kedua kakaknya menangis, dan itu karena dirinya- -yang semakin mempertanyakan alasan dia dilahirkan ke dunia. "Setiap malam, angin-angin itu seolah b...