Chapt 8

967 56 3
                                    

Seperti hal-nya memadamkan api, aku hanya bisa menjadi angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti hal-nya memadamkan api, aku hanya bisa menjadi angin. Cukup bersabar dan yakin bahwa suatu saat nanti api itu akan padam dengan perlahan.
-Aeera Riananda Hanasta

✨✨✨

Aku duduk termenung di pojok cafe, menatap kosong jendela besar yang memperlihatkan kendaraan yang melintasi jalanan di tengah terik matahari ini. Ini hari Minggu, tepatnya jam 2 siang setelah aku baru saja mendatangi kediaman Ale untuk melakukan terapi lanjutan dengan Dokter Karenina. Tadinya ia ingin mengantarku pulang, tapi aku mengatakan bahwa ada suatu hal yang harus aku urus sendirian.

"Ekhem!"

Aku menoleh ke samping, mendapati pria ber jas abu-abu yang menjulang tinggi di samping meja yang aku gunakan ini.

"Duduk, mas." Ia menarik bangku di hadapanku, lalu duduk dengan gagah di sana.

Ya, kalian pasti akan dengan mudah menebak siapa yang aku maksud. Mas Abi, sosok calon suamiku.

Mungkin kalian berpikir untuk apalagi aku bertemu dengan dia, satu-satunya manusia yang menjadi sumber kesakitanku beberapa bulan ini. Orang yang mungkin paling tidak perduli meski aku mati sekalipun.

"Apa yang mau kamu bicarakan? Aku gak punya banyak waktu." Ujarnya datar.

Aku menghela nafas.

"Tentang perjodohan ini."

"Kenapa?"

Aku menilik dalam-dalam bola mata hitam legam milik Mas Abi, mengatakan dengan pelan, "kemarin aku membatalkan perjodohan ini ke papa."

Kalian tahu, aku dapat melihat pupil milik Mas abi membesar meskipun hanya sebentar. Itu membuktikan ada emosi lain yang ia keluarkan meskipun wajahnya tetap datar.

"Lalu?"

"Papa bilang nggak bisa dan menuduh aku punya laki-laki lain. Kejadian di pesta itu... Mas Abi ceritain ke papa?"

Mas Abi tertawa sinis, ia menyandarkan punggungnya dan melipat tangannya.

"Menurut kamu?" Tanyanya meremehkan.

"Aku nggak selingkuh, Mas. Itu temen aku, sahabat aku." Mas Abi mengangkat bahunya tidak perduli seperti apa yang aku katakan hanyalah omong kosong.

Lagi-lagi hanya helaan nafas yang bisa ku keluarkan.

"Kalau Mas Abi nggak suka, kenapa nggak menolak perjodohan ini dari awal?"

"Kamu pikir aku nggak coba nolak?" Tanyanya dingin.

Aku terdiam, benar juga. Berarti selama ini Mas Abi terpaksa kan menjalani perjodohan ini?

"Lalu?"

BAD FIANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang