5. Tunangan

85.1K 7.2K 195
                                    

"—nenek bahkan nikah saat dia 15 tahun umurnya," Indah bersuara dengan santai, kedua tangannya masih sibuk merangkai bunga.

Dini semakin merengek, wajahnya di tekuk seperti hendak menangis. Kakinya di hentak-hentakan tidak bisa diam. Seperti bocah yang merengek ingin jajan.

"Itu zaman nenek! Ga mau nikah pokoknya!" serunya dengan air mata mulai jatuh.

"Budaya di daerah kita itu jangan nolak lamaran cowok, pamali!" Indah masih terlihat santai.

Dini semakin deras menangis, dia tahu soal budaya itu. Katanya jika menolak lamaran, maka jodoh akan sulit didapat. Seperti kutukan memang.

Budaya di daerahnya memang begitu, pasti setiap daerah memiliki budaya dan kepercayaan masing-masingkan?

Ada pernah tetangga Dini yang hanya terhalang 8 rumah, menolak lamaran seseorang dan sampai usianya 56 tahun belum juga menikah. Usia menutup jodoh perempuan itu, hingga pada akhirnya meninggal tahun lalu.

"Terima aja, toh bunda udah kenal Atha gimana,"

Kesantaian Indah sungguh mengundang air mata Dini semakin deras.


***

Atha hanya baru mengobrol soal niat baiknya itu dengan Indah. Setelah mendapat izin dan pencerahan, dia pun mulai mengajak orang tuanya kumpul.

"Atha mau lamar Dini, tunangan aja sambil nunggu lulus ga masalah. Tapi, kalau bisa nikah cepet,"

Aziel mengangguk pelan, senyum tipis jemawa menghiasi wajahnya yang tampak awet muda.

"Niat bagusnya papih ancungi jempol. Tapi, Dini siap nikah muda ga? Anak zaman sekarang berbeda dengan zaman papih dan mamih."

Atha menyetujui soal itu.

"Mamih ga mau lihat kamu sampai ada di meja hijau, jadi duda di usia muda," tambah Angina.

"Atha yakin 100%, dari pada terus berbuat dosa mending nikah aja. Tabungan udah punya, bisnis lagi jalan, rumah lagi dibangun,"

Angina dan Aziel mengangguk pelan, dalam berbisnis anaknya itu memang melebihi jiwa mereka. Semangat anak muda memang berbeda.

"Menikah memang harus dilakukan oleh orang yang sudah siap, entah jiwanya, perekonimiannya. Bukan matre, tapi itu semua dibutuhkan untuk hidup. Mau kasih apa istri dan anak kamu kalau uang aja ga punya,"

Atha mengangguk setuju, makanya dia ingin mengikat Dini yang sudah dia perawani sejak lama. Dia sudah siap membangun keluarga dengan kesiapan yang matang.

Dia bukan kebelet kawin, dia sudah kawin dengan Dini. Dia hanya tinggal menikahinya. Bertanggung jawab sebagai pria sejati.

"Besok, Atha minta waktu kalian. Kalau boleh, Atha mau lamar Dini besok,"

Angina tersenyum hangat, ternyata Dini memang dilahirkan untuk jadi menantunya. Sungguh kabar yang baik.

"Papih tanya sekali lagi," Aziel menatap serius putranya itu. "Apa Dini siap? Kamu sudah bicarakan ini dengan dia?" tanyanya.

Atha terdiam, maafkan dia yang mengambil jalan kebohongan. Jika memang ada bohong untuk kebaikan, mungkin itu yang dia lakukan sekarang.

"Dia siap." jawabnya mantap.


***

Dini membuka mata saat bahunya di guncang pelan. "Bangun, Andini.." kata Indah lalu membawa langkahnya untuk membuka tirai. "Ada keluarga Atha datang di bawah, mau lamar kamu," lanjutnya.

Dini sontak membolakan matanya, kantuk pun hilang. "APA?!" teriaknya heboh, tubuhnya langsung terbangun.

Indah menatap Dini dengan senyum hangat. "Ayo bangun, mantu bunda udah nunggu kamu." balasnya santai.

Dini meremas selimut, jantungnya berdebar tak karuan, kedua matanya yang berbelek pun mulai basah. Dini tidak mau menikah dengan mantannya itu.

Masa lalunya saja belum selesai dia bereskan dan lupakan, di masa depannya kini kenapa harus terjerat dengan si pelaku yang ada di masa lalunya?

Dini pada akhirnya pasrah, dia takut dengan kutukan di daerahnya. Dini membawa langkahnya ke kamar mandi dengan lunglai, mengabaikan air matanya yang terus jatuh.

Semangat benar-benar hilang.


***

Atha terlihat tampan menggunakan batik berwarna hitam dengan motif coklat, merah dan hijau. Rambutnya di tata rapih.

Dini terlihat layu, tapi masih terlihat cantik. Gaun pink yang dipakainya membuat kulit putih susunya semakin bersinar.

"Sini, nak." Antonio menepuk sebelahnya yang kosong, meminta anak satu-satunya itu untuk duduk di sana.

Dini menurut, tersenyum tipis pada kedua orang tua Atha yang sudah cukup lama tidak dia temui.

"Apa kabar, nak?" Aziel bertanya dengan hangat.

"Ba-baik, om."

"Loh kok om? Waktu pacaran panggilnya papih, mamih, kok sekarang engga?" tanya Angina.

Dini semakin canggung. "Anu, maaf papih, mamih." balasnya.

Aziel, Angina, Indah dan Antonio hanya mengulum senyum mendengarnya.

Atha masih duduk dengan tenang dan tidak terbaca, tatapannya masih menatap Dini lekat.

"Langsung saja.." kata Aziel dengan senyuman tipis. "Niat kami ke sini tentunya membawa niat yang baik. Kami ingin melamar Dini untuk Atha. Bagaimana, Dini? Apa kamu bersedia menerima lamaran Atha?" tanyanya.

Semua mata sontak tertuju pada Dini yang semakin gugup. Nafasnya mulai tidak normal, begitu pun jantungnya.

"A-apa ti-tidak bisa tunangan du-lu?" cicitnya di akhir, tangannya sudah basah oleh keringat.

Atha menghela nafas pendek. "Boleh," balasnya yang sontak mengundang fokus mereka. "Dengan syarat tertentu, kalau kamu langgar syarat itu, kita nikah." lanjutnya serius.

"Syarat?" Antonia bersuara, jelas dia harus tahu.

"Kalau di antara kita ada yang lirik lawan jenis, kita nikah," jelas saja Atha tidak akan melanggar, dia hanya menunggu kecerobohan Dini untuk bisa membuat Atha menikahinya.

Dini terlihat cerah. "Setuju!" jawabnya mantap.

Atha tersenyum tipis nan keren. "Jadi, hari ini kita tunangan?" tanyanya pada para orang tua.

Para orang tua mengangguk setuju. Persiapan dadakan pun di lakukan, acara tunangan dilaksanakan dengan lancar jaya.

Pernikahan Dini (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang