3. Nikah Bohongan

93.1K 8.1K 196
                                    

    Intan mulutnya di rapat lakban hitam. Bukan di culik, dia hanya tidak mau air liurnya tumpah ruah saat dia terlelap di kelas bising itu. Bisa-bisa tangan usil memviralkan video dia yang sedang ileran.

Intan sangat hafal dengan teman-teman di kelasnya. Aib = hiburan.

Intan tanpa takut rebahan di belakang, menjadikan kursi sebagai penghalang. Dia benar-benar lupa daratan.

Dini juga sama, bedanya dia tidak pakai lakban hitam seperti Intan. Dini tidurnya lebih cantik dari Intan.

Meringkuk seperti anak bayi di kolong meja yang agak tertutup sebagian itu.

"Ada, Dini?" Atha celingukan, mengabaikan siswi yang terpesona karena dia tanya itu.

"Tidur."

Atha menatap siswi yang kian mesem-mesem itu. "Tidur?" beonya dengan alis bertaut.

Siswi itu menunjuk meja belakang, tempat di mana Dini menghabiskan waktu belajarnya.

Atha membawa langkahnya, tanpa malu karena masuk ke dalam kelas orang lain.

Atha mengintip ke bawah meja, benar saja. Dini ada di sana dengan tidak punya kewaspadaan.

Bagaimana kalau ada siswa yang usil menggerayangi? Mencium atau— ah tidak, sepertinya pemikiran di otaknya itu hanya prilaku yang akan Atha lakukan jika memiliki kesempatan.

Atha menoleh sekitar, jelas kelas itu ramai. Ada yang bermain motor-motoran pakai sapu, ada yang sibuk membuat musik dengan ember dan meja. Sungguh bising.

Atha menatap Dini lagi, dan Dini selelap itu di keadaan bising ini? Luar biasa.

Atha kembali mengedarkan pandangannya, mencoba mencari cela agar bisa masuk ke bawah meja itu. Tanpa ketahuan.

Atha hanya ingin mencubit manja lengan berisi dan pipi itu, ingin menatap Dini lebih dekat. Bayi gembul, montok yang ingin dia—

"Ngapain?"

Atha tersadar, mendongak tinggi karena posisinya kini sedang berjongkok.

"Cewek gue," tunjuknya pakai dagu."Lagi tidur." jelasnya singkat.

Atha mengurungkan niat untuk masuk ke sana, dia mulai melepas jaket untuk menyelimuti Dini.

***

"Balikinlah, mumpung masih jam istirahat," Intan melirik jam tangannya sekilas.

"Iya-iya, kebiasaan ngegas!" dumel Dini dengan wajah ditekuk bete.

Dia malas bertemu Atha, tapi dia tidak mau membawa barang mantan ke rumahnya.

Dini berjalan keluar kelas dengan lesu, masih menggantungkan jaket itu di lengannya.

Diliriknya jaket itu lalu mendengus.

"Ngapain sih ke kelas, selimutin pake jaket lagi, ga guna banget!" gerutunya dengan wajah semakin ditekuk.

Dini hanya tidak mau kembali hanyut lalu kembali lagi tersakiti. Move on dari Atha sungguh membutuhkan waktu lama dan perjuangan.

"Ada, Atha?" tanya Dini pada siswa yang kebetulan berpapasan di pintu.

Siswa itu melepas atribut konyolnya, seperti sarung dan semacamnya.

"Oey!" siswa itu menoleh ke belakang teman-temannya. "Pengantin ceweknya yang asli udah dateng!" teriaknya yang membuat semua orang heboh.

Dini terlihat tidak paham, ada beberapa kursi-kursi di atas meja dan ada Atha di salah satu kursi itu, terlihat melirik ke arahnya.

Dini mengamati semuanya sesaat sebelum dia ditarik paksa untuk naik dan duduk di samping Atha.

Atha sontak menahan pinggang Dini saat hendak beranjak dan menolak itu. Menahannya tanpa memberi kesempatan untuk melarikan diri dari semua kekonyolan teman barunya.

"Panggil penghulu!" heboh salah satu siswa dengan gayanya yang pecicilan..

Satu siswa sibuk memakai sarung, peci dan meraih beberapa buku, pensil. Wajahnya dipasangs serius namun jatuhnya malah lawak.

"Ini-ini penghulu."

Dini masih di landa bingung, tidak paham dengan kehebohan yang mereka buat. Matanya mengerjap, menatap satu-persatu dengan tampang bodohnya yang cantik.

"Kita di nikahin, baby." bisik Atha saat memperhatikan Dini yang terus kebingungan. Senyum Atha terbit walau tipis.

Tatapan Atha yang tajam kini datar, terlihat menikmati dengan santai. Anggap saja ini simulasi.

Dini melotot. "Ha?" beonya kaget.

"Bohongan, yang asli tunggu gue lamar lo ke rumah," Atha menatap lagi Dini, mengusap pinggang berlemak itu dengan agak gemas.

Dini masih melotot syok, mulai panik plus malu karena mereka jelas bukan teman sekelasnya walau ada beberapa dia kenal.

"Yuk mulai!" seru si pecicilan.

Sorakan riang terdengar, mengabaikan wajah malu Dini.

Rasanya Dini ingin menggali lubang sampai ke kelasnya. Dia tidak suka dengan tingkah aneh anak-anak kelas Atha.

***

"SAH!" teriak semuanya.

Dini ingin menangis kencang, ingin kabur juga namun satu lawan tiga sembilan jelas saja kalah.

Dengan konyolnya Dini di paksa menandatangani kertas yang katanya buku nikah.

Apa-apaan selembar kertas dengan tulisan ceker ayam. Tidak ada rapih-rapihnya sama sekali.

Sungguh konyol semua anggota kelas Atha. Terniat sekali.

Bahkan ada biduan abal-abal yang kini merusuhkan sebagian anak kelas itu.

Setelah Atha mengecup kening Dini, sebagian yang tidak dangdutan mulai berjajar, membentuk satu barisan untuk bersalaman, mengucapkan selamat.

Dini melirik pintu, berharap ada guru atau Intan menyelamatkannya. Untuk guru rasanya tidak mungkin, semua guru sedang ada rapat.

"Baby, nikah beneran yuk?" bisik Atha yang sontak membuat Dini menatapnya cepat dengan kaget.

"Inget batas! Kita itu udah lama pisah, kita itu statusnya mantan!" amuk Dini mengabaikan semua orang yang kini terdiam menatap ke arah mereka.

"Putus? Soal itu masih bisa nyambung, kakak ipar," celetuk siswa yang kini melempar cengiran. Si pecicilan yang ingin Dini makan habis itu!

Atha mengulum senyum geli melihat Dini yang mulai bertanduk marah.

Rasa rindunya benar-benar sudah diobati. Atha tidak akan menyerah. Tunggu saja! Dini akan menjadi miliknya.

Pernikahan Dini (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang