2. Balikan?

98.5K 8.4K 329
                                    

     Dini membuka mata, belum juga sepenuhnya. Suara nyaring Intan mengharuskannya kembali terpejam karena kaget dan merasakan sakit di telinga akibat suara tak santai yang khas.

"DINIII! Lo gimana sekarang? Ada yang sakit?" tanyanya tidak berjeda.

"Telinga, Tan,"

"Telinga? Kenapa sam—"

"Suara lo bisa di kecilin? 30 kek, jangan 100 volumenya!" Dini cemberut, kepalanya masih pening dan wajahnya kini terasa panas.

Apa terbakar? Mungkin iya, dia hanya perlu memakaikan obat nanti sehabis pulang sekolah seperti biasa kalau penyakitnya kambuh.

Kulitnya memang sangat lebay saking sensitif.

"Atha yang gendong lo," Intan kembali heboh, mengabaikan keluhan Dini.

Dini tersentak pelan. "A-Atha?" beonya dengan jantung bertalu tak kalah heboh bak Intan barusan.

Tidak-tidak! Dia tidak boleh kembali goyah.

Dini menghela nafas lelah, padahal dia sebentar lagi akan sukses melupakan Atha.

"Baby,"

Dini dan Intan menoleh ke ambang pintu.

Atha berdiri di sana dengan tas dipanggul layaknya karung beras namun tetap keren. Malah makin keren, kesan bad boy memang selalu berhasil membuat para perempuan ketar-ketir.

Tapi khusus orang tampan seperti Atha tentu saja.

"Gimana?" Atha mendekat, berdiri di samping kasur pasien dengan mengamati wajah Dini yang memerah itu.

"A-apa? Kita udah ga ada urusan, lebih baik lo pura-pura ga ken—"

"Tan, lo keluar bentar. Kalau ada perawat, tahan dulu,"

Seperti biasa, Intan selalu tidak bisa menolak perintah Atha sedari dulu walau wajahnya kini dipasang garang tak terima.

Setelah kepergian Intan, Dini berusaha merapihkan seragamnya dan hendak meninggalkan UKS walau masih lemas.

Atha melempar tasnya sembarangan, meraih pergelangan Dini dengan cepat.

Keduanya berdiri berhadapan.

"Ngapain? Lo sampe usir In—"

"Gue butuh lo, Din!" potongnya dengan serius.

Dini mengernyit lalu terkekeh remeh. "Butuh gue? Elo butuh gue? Setelah kejadian waktu itu, lo masih butuh gue? Najis!" setelahnya berdecih.

"Najis? Terus apa tadi, lo berdecih?!" Atha mencengkram kuat pergelangan Dini, membuat Dini meringis pelan. "Lo ga kayak gini, sebandel-bandelnya lo dulu bareng gue lo ga gini!" geramnya.

"Yang lo kenal, Andini yang dulu! Bukan yang sekarang!" balas Dini tak kalah keras.

Atha menarik tangan Dini kuat, membuat Dini sempat oleng namun berhasil menahan tubuh Atha yang hendak merapat itu.

"Mau gue sebar, hm? Video panas kita masih ada, baby." bisik Atha seraya mengendus wangi rambut Dini.

Dini sontak menegang, bukannya mereka sepakat untuk menghapus itu? Mereka takut ada oknum yang mencuri data lalu video mereka tersebar.

"A-apa?"

Atha tersenyum miring. "Gue ga sebodoh lo, baby. Saat penting kayak gini, video itu perlu jadi alat pemersatu kita, bukan bangsa aja," ujarnya dengan santai.

Dini mengepalkan tangannya, dengan kuat menghempas cekalan di tangannya penuh emosi.

"Lo brengsek! Ga dulu, ga sekarang! Bajingan keparat anjing! Pergi lo ke ner—"

Atha meraih tengkuk Dini cepat, menahan wajahnya dengan terus mengulum bibir yang sudah bisa berucap kasar itu.

Atha tidak suka, Dini menjadi nakal memang karena Atha tapi dia tidak mengajarkan Dini berkata kasar.

Atha nakal tetap menjaga bahasa, dia tidak ingin membiasakan berkata kasar agar nanti saat memiliki anak dia tidak keceplosan dan di tiru anaknya.

Pikirannya memang sudah sejauh itu.

Atha meremas gemas pinggang di balik seragam itu sekilas lalu melepaskan pagutan kasarnya.

Keduanya terengah.

Dini menatap Atha marah, dia merasa dipermainkan, merasa direndahkan karena mudah disentuh.

Dini memang rusak oleh Atha tapi bukan berarti akan rela disentuh laki-laki apalagi Atha yang kini berstatus mantannya.

Dini ingin menampar Atha namun Atha tahan dengan gesit.

"Lo pasti tahu, gue ga suka ngomong kasar dan gue ga mau cewek gue ngomong kasar!" tatapannya masih menajam marah penuh ketidaksukaan.

Dini terbahak tiba-tiba. "Lo ngelawak? Gue? Cewek lo? Ngigo? Atau—"

"Kita balikan," potong Atha. "Kita harus lurusin semuanya!" lanjutnya serius.

Dini menyeka bibirnya dengan kesal terkesan muak, merapihkan seragamnya yang kusut dengan wajah di tekuk masam.

"Ga ada lagi kisah buat kita, semua udah ber—"

Atha menarik Dini, mengulum lagi bibirnya hingga basah dan berdarah.

Jelas saja berdarah, Dini terus menolak. Hingga terpaksa dia menggigit.

PLAK!

Berhasil, kali ini Dini berhasil menampar Atha yang tengah lengah.

"Sekali lagi, kisah kita udah berakhir sad ending! Jadi, jangan ungkit lagi, semua yang ada di masa itu udah mati!" tegasnya di akhir lalu berlalu dengan terus menyeka bibirnya.

Atha menatap kepergian Dini dengan tangan terkepal. Apa Dini masih belum bisa merasakan cintanya yang tulus dan besar?

Atha membuang nafas, meraih kasar tasnya lalu meninggalkan UKS dengan marah menumpuk di dadanya.

Merasa tidak adil dengan kisahnya, padahal dia teramat tulus.

***

Dini terlihat sudah segar dengan piyama bermotif dora itu. Dia duduk di kursi yang ada di meja belajar, mulai mengeluarkan buku dan kotak pensil.

Pergerakan tangan Dini yang merogoh pensil pun terhenti saat sesuatu menyentuhnya lagi.

Name tag Atha masih ada di sana.

Dini yakin, Atha yang menyimpannya. Entah dia menyuruh seseorang atau dia sendiri yang memasukannya.

Dini meremas itu lalu melemparnya kesal ke tong sampah mini.

Wajahnya dia benamkan di kedua lengan yang terlipat di meja, berusaha untuk tidak menangis dan kacau lagi karena kedatangan Atha yang tiba-tiba.

Padahal sekolah tak akan lama, untuk apa si pengganggu hatinya itu pindah. Membuatnya tidak nyaman!

Dan Dini pun tidak bisa lagi menahannya. Dia menangis, ternyata sia-sia selama ini. Dia tetap tidak bisa menghilangkan Atha di hati maupun pikiran dan kenangan.

"Nyebelinnnn! Kenapa harus sekarang! Gue udah berjuang! BANGKE LO EMANG!"

Tok..Tok.. Tok..

"Ada bangkai apa, non?" suara si mbo, pembantu di rumah Dini menyapa di balik pintu.

Dini menyeka air matanya. "Mantan, mbo.." lirihnya sangat pelan dengan bibir ditekuk ke bawah.

Pernikahan Dini (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang