15. Positif

73.4K 5.1K 52
                                    

       Atha terlihat acuh, bermain ponsel dengan asyik. Kebiasaan Atha selama 2 minggu setelah pengakuan hari itu.

Dini jelas galau, Atha rasanya berubah. Mungkin karena dia sudah menerimanya kembali membuat Atha tidak penasaran lagi padanya.

"Manyun aja terus, nanti di cium!" kata Atha tanpa melirik Dini.

Dini mendengus, memalingkan wajahnya lalu ikut bermain ponsel dan mulai sibuk.

Atha mengulum senyum samar, lucunya Dini kalau sedang dia abaikan. Ternyata Dini tidak pernah berubah. Bahkan sekarang semakin sensitif.

"Kenapa marah?" Atha meraih pinggang Dini, menariknya untuk mendekat.

Atha tidak membiarkan Dini bersuara karena dia langsung membungkam mulut Dini dengan bibirnya.

Atha mengusap pinggang Dini dengan mengulum bibir manis itu penuh perasaan, penuh penghayatan, tidak ingin melewatkan apapun yang ada di dalamnya.

"U-udah.." Dini terengah pelan. "Mau ee dulu." lanjutnya.

Atha terdiam lalu terkekeh geli, Dini sungguh merusak suasana.

"Mau di ant—"

"Ga usah, dia ga akan mau keluar kalau di tungguin!" potong Dini cepat lalu beranjak dan berlalu.

"Semoga ga panas dalam ya, sayang.."

***

Atha menyambut Dini dengan masih duduk di sofa. "Udah buang air besarnya?" di kecup pelipis Dini sekilas.

Dini mengangguk dengan lesu. "Sakit perut," ungkapnya dengan menggeliat pelan dipelukan Atha.

Atha mengusap perut Dini, membuat Dini merasakan nyaman dan hangat. Lumayan mengurangi mulasnya.

"Enak?"

Dini mengangguk jujur dengan mata dia pejamkan.

"Mau yang lebih enak?" bisik Atha yang sontak membuat Dini melotot siap mengamuk.

"Maksudnya di kompres air panas," Atha terkekeh geli setelahnya. "Emang kenapa kalau panas-panasan? Bukannya suka?" godanya.

Dini memalingkan wajahnya lalu mengabaikan Atha dengan masih menikmati usapan Atha.

"Kita nikah sebentar lagi, ubah kebiasaan kita yuk?" ajak Atha seraya memeluk Dini sambil duduk.

"Kebiasaan?"

"Lo-gue, jadi aku-kamu kalau perlu sayang, baby, cinta, honey.."

Dini hanya mengangguk, toh dia memang sudah menerima Atha untuk masuk ke kehidupannya lagi.

"Besok kita izin sekolah, kita daftar nikahan, sisanya biar para orang tua yang urus."


***

Dini berlari dengan telapak tangan membekap mulutnya, mual sungguh menyiksa.

Atha sontak berlari ke kamar mandi saat mendengar suara Dini yang muntah-muntah.

"Tersiksa hiks, mungkin karena kita tutupin semua ini dari para orang tua," isak Dini.

Atha memeluk Dini, mengusap punggung lalu berjongkok untuk mengecup perut Dini.

"Kita sebentar lagi nikah, kita jujur saat nanti udah sah aja," Atha kembali berdiri, mengusap wajah basah Dini dengan perhatian.

"Aku manusia terburuk, hamil di luar nikah, harusnya aku tahu dengan resikonya tapi setelah kejadian aku hiks takut hiks.." isaknya semakin menjadi.

Atha tidak bersuara, dia takut salah karena Dini sangat sensitif semenjak tahu kalau Dini hamil 3 minggu.

"Jangan nangis, anak kita ikut sedih, baby." bisik Atha dengan masih mengusap punggung Dini.

Atha menggendong Dini yang pasrah, semenjak ketahuan Dini begitu galau, sensitif dan mudah menangis, membuat Atha harus extra sabar.

Atha juga harus fokus, harus menjadi sandaran bagi Dini. Atha jelas akan tanggung jawab, makanya dia tenang.

"Kita nikah lusa, semua pasti baik-baik aja," yakin Atha seraya mengusap Dini yang kini memeluknya erat.

"Apa aku bisa jadi mama, Atha?" suaranya serak nan bergetar.

"Bisa, kita belajar sama-sama," jawab Atha yakin dengan di akhiri mengecup bibir Dini sekilas.

Dini malah mendekatkan lagi bibirnya, dia ingin lebih dari sekedar mengecup. Walau jelas Atha tidak mengabulkannya.

Pernikahan Dini (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang