Chapter 18 : Salah Paham

156 49 204
                                    

Haloo Readers!
Selamat datang kembali di cerita Past Courier...
Yuhuu Chapter baruu.
Selamat Membaca dan Enjoy!

Satu Minggu berlalu begitu cepat, satu Minggu itu juga Kay berusaha lupa akan kejadian memalukan di kamarnya. Kay benar-benar sangat kesal pada Rion sampai detik ini. Untung saja saat itu Linda pulang dan masuk ke kamar Kay. Kalau saja tidak, Kay tak tahu nasibnya saat itu.

Hari ini Kay baru kembali sekolah, hampir lima hari semenjak pesta ulang tahun sekolah, Kay tak masuk sekolah. Selama lima hari itu Kay hanya diam di dalam rumah. Kay juga tak mengirimkan surat kabar akan alasan dirinya tak sekolah pada guru.

Tak seperti biasanya, Kay memilih berangkat sekolah menaiki taksi. Tak ingin diantar sopir pribadinya, juga tak ingin dijemput oleh Mahen.

Langkah Kay begitu ragu untuk masuk ke dalam kelasnya. Pasti banyak sekali pertanyaan yang akan ia dengar dari teman-temannya, juga guru-gurunya.

Baru saja satu langkah Kay masuk ke dalam kelas, Saskia berlari menghampirinya, lalu memeluk tubuhnya begitu erat. “Lo ke mana aja sih, Ay? Lo baik-baik aja, ‘kan? Lo enggak sakit gara-gara pesta ulang tahun, ‘kan?” Rentetan pertanyaan Saskia membuat Kay tersenyum.

“Gue baik-baik aja kok. Selama gue enggak ada lo sama siapa di sekolah?” Kay melepaskan pelukan Saskia.

“Selama lima hari ke belakang, selama lo enggak sekolah, gue di sekolah sama Mahen. Kita berdua sama-sama khawatir sama lo. Chat gue juga enggak lo bales, kenapa sih?”

“Gue enggak dibolehin main HP,” ucap Kay beralasan. “Ka... Karena... Gue pusing banget, jadi nyokap sita HP gue.” Kay terpaksa harus berbohong.

“Tapi sosial media kamu kok online?” Kali ini Mahen yang bertanya. Sedari tadi, Mahen berada di samping Saskia, sama-sama menunggu kedatangan Kay.

“Nyokap gue kali yang buka.”

“Ya udah yuk duduk dulu. Banyak banget loh kejadian semenjak lo enggak sekolah. Ya, ‘kan, Hen?” tanya Saskia yang dijawab anggukan oleh Mahen.

Kay mendudukkan tubuhnya di bangku. Namun, tiba-tiba saja seseorang menarik tangan Kay kasar, sangat kasar. Hingga menyebabkan beberapa pasang mata tertuju padanya dan perempuan yang menarik kasar tangannya.

“Sepulang dari pesta ulang tahun sekolah, lo dianter pulang Rion, ‘kan?” tanya perempuan yang tak lain adalah Friska, teman sekelas Kay.

“Kalau iya kenapa?” Jawaban Kay membuat terkejut banyak orang, termasuk Mahen dan Saskia.

“Lo suka sama dia?”

“Enggak, apaan sih. Gue enggak suka sama cowok brengsek kaya dia!”

Mendengar nama Rion, Kay kembali menjadi begitu kesal. Emosinya menggebu. Seakan kembali diingatkan akan kejadian yang ingin Kay lupakan.

“Terus apa yang lo lakuin sama dia? Sampai-sampai kalian bolos sekolah di hari yang sama.”

“Maksud lo? Jadi dia juga enggak sekolah juga selama lima hari?” Emosi Kay sedikit menurun, bergantian dengan rasa penasaran akan Rion yang ternyata bolos sekolah juga. Kenapa dia bolos? Apa dia merasa malu juga seperti Kay?

“Enggak usah sok enggak tahu. Lo pasti bawa dampak buruk ‘kan ke Rion? Lo pasti ajak dia bolos biar lo bisa modusin dia. Ya, ‘kan?!” hardik Friska mengatupkan rahangnya.

“Bentar,” potong Mahen yang kebingungan. “Bukannya waktu itu kamu bilang kalau kamu pulang naik taksi? Kamu bohong?” tatap Mahen lekat.

“I... Iyaa... Waktu itu aku emang niat pulang pake taksi, tapi enggak ada satu pun taksi yang lewat malam itu, awalnya aku mau balik lagi aja ke sekolah untuk ketemu kamu lagi. Eh si Arion datang ajak pulang bareng, ya udah aku ikut aja karena dia maksa,” terang Kay menatap satu persatu lawan bicaranya.

Suasana menjadi hening setelah Kay menjelaskan kejadiannya secara rinci. Entah apa yang ada di pikiran mereka semua. Namun, bagi Kay, yang terpenting ia sudah menjelaskannya pada Mahen. Sebab Kay belum siap kehilangan Mahen saat ini. Kay belum menemukan lelaki baru untuk menggantikan Mahen.

“Bohong! Lo jangan percaya sama dia gitu aja, lo jangan mau dibodohin dia,” kompor Friska pada Mahen yang tengah kebingungan. “Cewek murahan!”

Dua kata yang terdengar begitu menyakitkan di telinga Kay, juga di hati Kay. Kejadian pada malam itu terngiang di benak Kay, apa Kay benar-benar murahan?

“Cuma cewek murahan yang bawa cowok lain ke rumahnya, murah banget ya lo udah kaya enggak ada harganya,” sinis Friska melirik tajam Kay.

“Iw itu bukan murah, malah enggak ada harganya!” timpal Riska, teman satu geng Friska.

“Enggak bersyukur banget punya Mahendra, kalau gitu biar Mahendra jadi milik gue aja gimana? Kasian tau dia.” Kali ini Calyska pun ikut menimbrung.

Ketiga wanita itu terus memojokkan Kay. Perkataan demi perkataan yang keluar dari ketiganya membuat Kay tak bisa berkata-kata. Lidahnya seakan kelu. Kejutan macam apa ini? Kay saja tak sedang ulang tahun, untuk apa ia mendapatkan kejutan yang begitu dahsyat hari ini?

Kay merasa begitu malu, bisa saja apa yang dikatakan ketiga wanita itu benar. Kay memang murahan. Seharusnya Kay tak seperti ini, seharusnya Kay tak membawa Rion masuk ke dalam rumahnya hanya karena ingin membalas budi. Tak ada cowok yang bisa dipercaya.

Rasa sakit hatinya saat ini membuat Kay pergi begitu saja dari kumpulan menyebalkan itu, tanpa meninggalkan kata sepatah pun.

“Aylaaa! Lo mau ke mana, Ay?!” pekik Saskia mengkhawatirkan sahabat terbaiknya.

Plaakk!!

Suara tamparan terdengar begitu nyaring hingga seisi kelas menatap Saskia yang tengah menggebu. Saskia-lah yang sudah menampar Friska, dengan amarah yang meluap-luap.

“Lo siapa?! Lo enggak kenal betul Ayla! Jadi lo enggak usah sok tau tentang Ayla, gue lebih banyak tau tentang dia.” Saskia terlihat begitu emosi, tak terima sahabatnya dikatai murahan. “Seharusnya diri lo sendiri yang harus lo sebut murahan, bukan Ayla. Lo ‘kan suka mepet-mepet dan caper sama cowok,” tambah Saskia mengeluarkan kata-kata sindiran untuk Friska.

Begitulah Saskia, jarang berbicara. Namun sekalinya berbicara tak akan ada yang bisa menyainginya.

“DASAR MURAHAN!” hardik Saskia sebelum akhirnya meninggalkan sekumpulan murahan itu.

Saskia terlihat begitu khawatir akan keadaan Kay. Kakinya terus melangkah dengan cepat, mencari keberadaan Kay yang entah berada di mana. Namun, bola matanya menangkap sosok Kay tengah berdiam di kantin yang cukup sepi.

“Ayla!” panggil Saskia menghampiri Kay.

“Lo ngapain ke sini, Saski?”

“Seharusnya gue yang tanya sama lo. Lo ngapain ke sini? Lo sakit hati ya sama ucapan Friska dan sobat murahannya? Jangan diambil hati ya, gue tau lo, dan gue percaya sama lo!”

“Yaa... Gue ke sini karena laperlah! Enggak, tenang aja, gue enggak kenapa-kenapa kok, lo enggak usah khawatir ya.” Kay berbohong, sebenarnya Kay tengah menyembunyikan banyak hal di benaknya.

“Lo lagi pesen apa?” tanya Saskia mengalihkan pembicaraan.

“Bubur ayam, lo mau juga?”

Saskia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban tidak untuk pertanyaan Kay. Saskia merasa takjub pada sahabatnya ini, walaupun masalahnya terlihat berat, Kay tak pernah terlihat menyedihkan di hadapan semua orang. Bahkan, Kay terlihat begitu ceria seperti tak punya masalah.

Satu mangkuk bubur ayam tiba di hadapan Kay.

“Gue makan dulu ya, Sas,” ucap Kay meminta izin pada Saskia.

“Ya, silakan...”

Saat Kay tengah asyik melahap bubur ayam miliknya. Kedatangan Rion yang tiba-tiba berada di belakang Kay membuat Saskia cukup terkejut. Tangan Saskia menyenggol-nyenggol lengan Kay, berusaha memberi kode jika ada Rion di belakangnya.

“Kenapa sih, Sas?” tanya Kay mengerutkan dahinya.

Saskia menunjuk belakang Kay dengan mengangkat dagunya. Seketika membuat Kay menoleh ke arah belakangnya.

“Gue mau ngomong sama lo, sebentar aja.” Mata Rion menatap teduh Kay.

“Enggak bisa, gue lagi sibuk.” Kay menolak mentah-mentah permintaan Rion.

Mendengar penolakan Kay, Saskia langsung menggenggam erat lengan Kay, “Udah, lo dengerin dulu aja omongan dia. Kali aja penting, Ay. Sana!”

Akibat permintaan Saskia, akhirnya Kay mau mendengarkan perkataan Rion.

“Mau ngomong apa? Ngomong aja di sini,” pinta Kay tanpa melirik Rion sedikit pun.

“Enggak di sini.” Tangan Rion menarik lembut tangan Kay, membawanya menjauh dari Saskia. Lalu duduk di meja yang kosong.

Rion menarik nafasnya panjang. Ia harus meluruskan kesalahpahaman tempo hari. Rasanya tak mungkin jika Rion terus menerus dicap sebagai lelaki tak benar, apalagi oleh teman masa kecilnya yang selama ini ia cari. Bagaimanapun juga Rion begitu merindukan Kaila.

“Mau ngomong apa? Tentang kejadian di kamar gue itu? Lebih baik kita sama-sama lupain aja masalah itu. Juga satu hal, jangan pernah temui gue dan ngobrol lagi sama gue.”

Satu kalimat deh dari kalian untuk Kay?
Tulis dikomen ya!
Aku harap kalian selalu suka ya sama tiap chapter cerita ini❤
Sampai jumpa di hari Rabu, See youu!


Past Courier (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang