~JENTAKA~"Selain berengsek, ternyata kamu juga nggak punya hati."
Jungwon tertawa merendahkan, dia beranjak dari duduknya dan berdiri.
"Ck, itu juga belum tentu anak gue." kata Jay menantang, dia ikut berdiri dan berkacak pinggang.
"Kamu—" Jungwon kehabisan kata-kata. Dia mengepalkan tangan, hingga kuku-kukunya memutih .
"Apa?!" Jay menggertak.
"Bener kan? Bisa aja itu anak orang, terus lo ke gue minta tanggung jawab. Secarakan gue ini orang kaya, pasti biar hidup lo terjamin."
Jay sebenarnya ragu mengatakan itu. Karena setahunya Jungwon tidak pernah berpacaran selama bersekolah di sini, pemuda itu begitu tertutup terhadap mereka yang berniat main-main. Tapi bisa saja Jungwon itu berbeda ketika di rumah, mungkin Jungwon melakukan itu dengan orang lain dan mengatur siasat agar hidupnya terjamin kelak.
Jungwon mendorong sedikit bahu Jay dengan telunjuknya. "Aku berani sumpah, aku nggak pernah melakukan hubungan badan selain sama kamu!"
Matanya dipenuhi genangan air mata, hidungnya memerah. "Kamu yang hancurin masa depan aku! Kamu yang buat aku makin menderita!"
Jay menahan tangan Jungwon yang terus memukuli dadanya. Matanya memastikan sekeliling mereka sepi, sekarang memang jam pelajaran sekolah. Tapi Jay tetap khawatir jika ada penjaga sekolah atau guru yang mendengar pembicaraan mereka berdua.
"Kita bicarain ini di luar."
Jay menarik pergelangan tangan Jungwon menuju tempat parkir. Jay membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, tapi Jungwon masih diam, tidak berniat menyusul Jay untuk masuk ke dalam.
"Masuk, Jungwon!"
Akhirnya Jungwon masuk ke dalam mobil Jay, walau sangat terpaksa. Dia mendudukkan bokongnya di kursi samping kemudi, kemudian menarik sabuk pengaman.
"Kamu mau bawa aku kemana?" Jungwon bertanya sambil membuang muka ke luar jendela.
"Ke rumah lo aja, gimana?"
"Buat apa?"
"Lo tinggal sendirian, kan? Jadi kita bisa bicarain hal ini matang-matang di rumah lo."
Jungwon hanya pasrah, lagipula memang bicara itu diperlukan untuk saat ini. Agar mendapat solusi serta keputusan yang benar. Tapi sebenarnya itu bukan rumah, hanya kamar sepetak yang Jungwon sewa.
"Rumahku belok kanan."
***
Jay tidak tahu harus berkata apalagi saat menapaki kakinya di sebuah rumah yang ada pada gang sempit. Gila, bahkan motor saja harus saling mengalah jika melewati gang setapak ini.
Jungwon menuntunnya naik tangga ke lantai empat bangunan itu. Rupanya kamar Jungwon ada di ruangan paling ujung dari koridor ini, tidak layak disebut koridor sebenarnya. Apalagi harus menaiki tangga sebegitu banyaknya, apa Jungwon tidak lelah?
Jungwon mengeluarkan kunci dari dalam tasnya dan membuka pintu itu. Saat pintu terbuka, di dalamnya sangat terlihat sederhana. Tidak ada mesin cuci atau alat-alat lain yang menyempitkan kamar, tata letak barang-barang yang ada di sini sudah diatur sedemikian rupa agar bisa dilihat dengan layak.
"Lo tinggal di sini?" Jay membuka sepatunya di depan pintu, setidaknya dia masih tahu etika berkunjung ke rumah orang lain.
Dia melangkah masuk, dan duduk bersila di atas lantai. Sementara Jungwon menggantung tasnya di dinding, baru ikut duduk di depan Jay.
"Ya." Jungwon menjawab acuh.
Jay berdehem canggung, dia jadi berfikir untuk apa dia datang ke 'rumah' Jungwon? Bahkan Jay tidak pernah datang ke rumah para kekasihnya.
"Umurnya udah berapa minggu?"
"Masuk empat." Jungwon meluruskan kakinya yang terasa pegal.
"Kok nggak kelihatan sih?" Jay menatap perut Jungwon yang sama sekali tidak terlihat seperti sedang hamil.
Jungwon menjadi emosi. "Umurnya baru satu bulan, Jay! Nanti juga kelihatan kalau udah beberapa bulan."
Jay menatap ke lain arah. "Itu juga kalau dia bisa sampai umur segitu."
Jungwon terlihat tidak mengerti. "Apa maksud kamu?"
"Ya, kan gue maunya anak itu digugurin." Jay ikut meluruskan kakinya.
Jungwon menunduk, dia menelusupkan tangannya ke dalam seragam, mengelus perutnya yang masih datar. Sebegitu inginnya Jay untuk membunuh darah dagingnya sendiri? Janin di perutnya tidak bersalah, ini salah mereka berdua.
Tapi jika Jungwon ingin mempertahankan anak ini, maka dia harus siap akan konsekuensinya. Dikeluarkan dari sekolah, dan tidak bisa lagi ikut turnamen taekwondo. Segala prestasinya akan hancur saat anak-anak di sekolah tau kalau dia sedang hamil. Semua perjuangannya selama ini akan berhenti.
Pertanyaannya, apa dia siap menanggung itu semua?
Hinaan dan cibiran dari orang lain pasti menyertai langkah mereka jika mempertahankan, tapi jika dia menggugurkan janin ini, itu adalah dosa terbesar yang pernah dia lakukan seumur hidupnya.
"Lagian, ya, kalau lo pertahanin itu anak. Itu cuman nyusahin, nanti lo nggak bisa panas-panasan buat latihan taekwondo. Terus mual-mual tiap pagi, emangnya lo mau?"
"Itu udah resiko setiap orang hamil, Jay." Jungwon mengeratkan pelukan pada perutnya sendiri. Seolah-olah sedang meresapi kehadiran janinnya. Menyusahkan, ya?
"Ck, batu banget sih jadi orang." Jay mendecak cukup kencang dan merogoh sakunya.
"Ini kartu atm pribadi gue, duit yang ada di dalam sini punya gue. Nah, ini bakal jadi milik lo kalau lo mau gugurin anak itu." Jay menawarkan sebuah kesepakatan.
Jay sudah biasa menyelesaikan masalah dengan uang, baginya uang bisa membeli dunia dan seisinya. Menawarkan kartu debit, atau uang cash sampai miliaran kepada orang lain adalah rutinitas Jay.
Para mantan kekasihnya yang terdahulu juga begitu, tinggal sedikit diiming-imingi uang, mereka akan menuruti ucapannya. Kejam? Tidak, dunia memang seperti itu. Yang ber-uang akan mendapat keadilan.
Jungwon bergeming, dia memojokkan diri ke tembok sambil menyembunyikan wajah diantara kedua lututnya. Jungwon diam-diam mengeraskan rahangnya, ucapan Jay sudah terlewat dari batas wajar. Lelaki itu seperti definisi manusia tanpa hati, sebegitu mudahnya dia membeli nyawa dengan uang?
"Jungwon look at me, Please.." Jungwon menaikan kepalanya, dia menatap Jay dengan mata berembun.
"Gugurin anak itu, kita masih sekolah. Gue nggak mau masa depan gue ancur cuman karena hamilin anak orang. Semua biayanya bakal gue tanggung, gampang 'kan?"
~JENTAKA~
Vote dan komen jangan lupa, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jentaka ; Jaywon (DIBUKUKAN)
Fanfiction"Denger, ya. Gue cuma mau anak itu yang mati, bukan lo." *** Jungwon Baskara, siswa kelas 2 SMA, anggota ekskul taekwondo yang mumpuni dari segi kepintaran, juga merupakan murid beasiswa. Sebuah kejadian saat acara study tour membuatnya terancam dik...