23. How Do You Feel?

652 73 53
                                    

FLASHBACK

Hari itu tepat satu minggu Chayoung keluar dari apartemennya dan mengungsi tidur di HongLite. Rasanya sudah cukup menenangkan diri di sana. Ia sudah menemukan jawaban atas kemelut yang ada di dalam hati dan pikirannya. 

Telapak kaki yang dibalut flatshoes berwarna tosca itu menyapu lantai lobby apartemen. Ia menekan tombol lift untuk membawanya menuju lantai unitnya. Tangan kirinya menggenggam tangkai koper mungil kesayangan, memainkannya ke depan dan ke belakang, yang sejurus dengan itu roda-roda yang terpasang mengikuti kehendak sang tuan. 

TENG

Bunyi lift menandakan terbukanya alat pemindah manusia itu. Chayoung menarik napas mantap sebelum keluar dari sana. Dilangkahkannya kedua kakinya menuju depan pintu yang sudah seminggu ini tak ia lihat. Ia meyakinkan diri untuk memasuki ruangan tersebut.

Chayoung menekan tombol password seperti kode yang ia ingat. Terbuka. Laki-laki itu tak menggantinya sama sekali. 

Begitu ia masuk, pemandangan pertama yang ia dapati adalah meja ruang tamu yang dipenuhi berkas berserakan. Di lengan sofa terdapat beberapa helai baju bekas pakai, milik Juhyeong tentunya. Ia melangkahkan lagi kakinya menuju dapur. Di sana tumpukan piring dan sisa makanan jelas mengganggu pemandangan. 

"Kacau sekali," gumamnya.

Chayoung membalikkan badannya menuju kamar. Benar. Laki-laki itu tengah terlelap di atas kasur besar mereka. Wajahnya kusut, bajunya tak teratur, bau alkohol menguar dari mulutnya. Dia mabuk. 

"Aishh bajingan ini!" keluh Chayoung. 

Wanita hamil itu membuka sisa kancing kemeja yang dikenakan Juhyeong. Menariknya lepas dengan susah payah karena tubuh laki-laki itu cukup berat. Berhasil. Kini giliran celana kain panjang yang melekat di tubuh bawah suaminya yang ia urus. Dibukanya resleting itu dan dengan satu tarikan celana hitam tersebut lepas dari kedua kaki Juhyeong.

"Chayoung-ah..."

"Wae? Bangunlah pakai celanamu." Chayoung mengambil celana pendek di lemari pakaian. Dimasukkannya lubang celana itu ke satu per satu kaki Juhyeong.

"Ya, angkat kakimu sedikit." Chayoung masih berjuang memakaikan celana pada tubuh bawah Juhyeong yang kini hanya dibalut celana dalam.

"Chayoung-ah..." Laki-laki itu masih saja menyebut-nyebut nama Chayoung dalam keadaannya yang setengah sadar.

"Fyuh!" Ia berhasil memakaikan celana itu pada Juhyeong. Tubuhnya masih di atas tubuh suaminya, lalu tiba-tiba lengan kekar itu menariknya ke dalam pelukan yang erat.

"Chayoung-ah, jangan tinggalkan aku!" Rengek Juhyeong.

Chayoung masih diam dalam pelukan laki-laki tersebut. Sejujurnya ia juga sangat merindukan suaminya. Ia rindu dengan sentuhan dan kehangatan kasih sayang Juhyeong. Apalagi kini dirinya tengah hamil muda. Seharusnya segala perhatian dan cinta kasih lah yang pantas ia terima. Bukan pertengkaran.

"Chayoung-ah, mianhe!" Ia masih mendekap istrinya sepenuh jiwa.

Akhirnya Chayoung luluh. Ia membalas pelukan suaminya tersebut. Dibelainya rambut hitam Juhyeong penuh sayang. Setelah beberapa saat, pelukan itu terlepas.

Juhyeong menangkup wajah cantik istrinya dengan kedua tangannya. Dengan perlahan ia satukan dua ranum itu, mengecup manis bibir istrinya yang sudah seminggu ini tak ia rasakan. Chayoung memejamkan matanya, meresapi dalam-dalam ciuman itu. Dia sangat rindu.

"Mianhe." Keduanya melepaskan diri, bersamaan dengan lolosnya air mata dari dua pasang manik yang saling berpandangan.

Berpisah selama seminggu dalam kondisi konflik, tanpa berkomunikasi sama sekali, membuat mereka tersadar. Mereka tak bisa hidup tanpa belahan jiwanya. Hampa dan hambar. Kelabu. Sedih tiada ujung. Layaknya orang buta kehilangan tongkatnya. Mereka tak bisa kemana-mana.

MBA: MARRIED BY ACCIDENT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang