Park Juhyeong dan Hong Chayoung sudah kembali ke kediaman mereka. Setelah menerima kejutan yang benar-benar mengejutkan saat dinner, di sepanjang jalan pulang keduanya hanya bisa merangkai kesunyian. Tak ada yang mau membuka suara. Semuanya berlarian di kepala, gagal untuk mengkristalisasi ke dalam kata-kata.
"Aku pikir kita harus membicarakannya," ajak Juhyeong. Pandangannya lembut pada sosok istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaiannya kini sudah terlihat lebih nyaman, make up nya sudah hilang dibersihkan.
Lama ia menunggu, yang diajak bicara masih menggantungnya. Diminumnya segelas air yang ada di nakas sebelah ranjang dalam satu kali teguk, sesekali mengusap perutnya yang masih tampak normal. "Aku lelah," balas Chayoung tanpa memandang. Tubuhnya terbaring menyamping membelakangi, seolah menyampaikan betapa lelahnya ia saat ini, fisik dan psikis. Jelas ia tak minat untuk berdebat saat malam sudah menunjuk di angka sepuluh.
Juhyeong mengalah. Mengerti bahwa mungkin Chayoung butuh waktu untuk mencerna segalanya. Mengajaknya pindah ke negeri nun jauh dalam keadaan hamil muda dan harus meninggalkan perusahaan yang baru saja dirintisnya bukanlah sesuatu yang mudah. Juhyeong harus memberinya waktu. Mungkin dalam satu dua hari ke depan dirinya akan mengiyakan. Atau dalam tiga, empat, lima berikutnya.
*****
Matahari sudah meninggi saat Juhyeong membuka mata. Semalaman ia terjaga memandangi wajah istrinya yang tengah terlelap. Ada gurat lelah yang tercetak tipis di sana. Ceruk matanya sedikit menggelap, ia tak sedamai biasanya. HongLite, skripsi, dan merawatnya. Juhyeong baru menyadari bahwa istrinya itu mengemban banyak tugas. Adakah dirinya kurang memberinya perhatian? Dan kini perempuan kuat itu akan memiliki peran baru, menjadi malaikat pelindung bagi janin kecil yang ada di dalam perutnya.
"Chayoung-ah?"
Badan tegap itu melongokkan kepalanya ke dalam kamar mandi, namun tak ada siapa pun di sana. Ia melangkahkan kakinya keluar kamar. Dapur. Sepertinya ia tengah memasak? Nihil. Hanya hasil karyanya yang tersedia. Masakan yang sudah dingin tersaji di meja.
"Dia ke mana?"
Dirogohnya ponsel itu, dia harus menghubungi Chayoung. Tidak aktif? Apa yang terjadi? Dia tidak berada di apartemen mereka, tidak mungkin pula Chayoung pergi ke kantor, ini hari Minggu. Juhyeong mulai khawatir mencari keberadaan Chayoung. Ia berlari menuju kamar, membasuh muka menyiapkan diri untuk pergi dengan cepat.
"Apa yang Kau lakukan Chayoung-ah?" Ia terkejut ketika membuka almari hendak berganti baju, hal yang ia temukan malah kekosongan di sisi milik Chayoung. Perempuan itu membawa barang-barangnya.
Juhyeong semakin merasa tak karuan. Perempuan itu pergi tanpa memberi tahunya dan membawa barang-barangnya. Ia juga tak bisa menghubungi untuk menanyakan keberadaannya.
Juhyeong segera menyambar kunci mobilnya dan bergegas menuju parkiran. Ia tak habis pikir dengan apa yang Chayoung pikirkan. Mengapa ia pergi dengan cara seperti ini? Apakah permasalahan semalam sangat membuatnya terpukul hingga harus menjauhkan diri seperti ini?
Intuisi Juhyeong membawa dirinya menuju rumah besar Tuan Hong. Ia yakin bahwa istrinya itu menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang. Tak lagi ia menekan bel untuk menandakan kehadirannya.
"Chayoung-ah!"
DOR DOR DOR
Ia benar-benar tak bisa menahan dirinya untuk tidak menggedor pintu itu dengan keras.
"Chayoung-ah, aku tahu Kau di dalam. Tolong bukalah pintunya!"
DOR DOR DOR
"Chayoung-ah, Kau dengar aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MBA: MARRIED BY ACCIDENT [END]
Fiksi Penggemar"Aaaahhhh!" Chayoung berteriak sekeluarnya ia dari kamar mandi. Gadis itu terkejut mendapati seorang laki-laki yang bertelanjang dada berada di dalam kamar pribadinya. "Apa yang Kau lakukan di kamarku? Kenapa Kau tidak memakai baju?" ujar Chayoung...