sebelas

1.8K 301 120
                                    

"Paha lo sakit, ga?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Paha lo sakit, ga?"

Laura mengangguk sebagai jawaban. Deon sudah bangun dari tidurnya satu menit lalu—setelah menghabiskan waktu tiga jam lamanya tidur di paha Laura. Tidak terasa memang, tahu-tahu langit sudah gelap dalam pandangannya. Ia menatap Laura merasa tak enak, Deon tahu rasa sakit pada kaki yang pegal. Mungkin berdampak tidak bisa berjalan selama berjam-jam atau bahkan satu hari.

Deon bergidik ngeri. Ia lagi-lagi bertanya, "Bisa digerakin ga, kakinya?"

"Engga," jawab Laura sambil menggeleng lesu. Ada sesuatu yang ia tahan-tahan sedari tadi ketika Deon masih tidur hingga sekarang. Tapi, kakinya sama sekali tidak mendukungnya. "G-gue.."

"Gue apa? Lo pengen ke air?" tanya Deon seolah-olah mengetahui apa yang sedang Laura inginkan saat ini. Kemudian Laura mengangguk kecil, tidak ingin menatap Deon lama-lama. Malu, pikirnya. Di sisi lain, Deon manggut-manggut memikirkan bagaimana caranya agar Laura bisa pergi ke kamar mandi tanpa harus berjalan. Karena tak ada pilihan lain, Deon lantas berkata, "Gue gendong, ayo!"

Mendengar penuturan Deon, Laura membulatkan matanya. "Ga! Apa-apaan?! Ini Rumah Sakit, tempat umum—gila aja lo gendong gue. Yang ada lo dikatain sakit jiwa sama orang-orang karena romantis gatau tempat."

"Oh.. jadi gendong lo itu termasuk hal yang romantis, ya?"

Laura terkejut. Bukan terkejut karena pertanyaan Deon barusan, ia terkejut karena bibirnya yang tidak terkontrol seperti Olivia dan Jane. Jangan bilang ia ketularan mereka berdua? Tidak-tidak! Astaga, Laura keceplosan. "H-hah.. apa, sih?! ga.. ga gitu konsepnya! Dahlah, gue jalan aja!"

"Ck, ngeyel."

Deon menahan Laura yang akan berdiri dari duduknya. Ia menyimpan tangannya di punggung Laura dan satu lagi di bawah lutut gadis itu. Kemudian mengangkatnya dengan sekuat tenaga. Dan lagi-lagi Laura terkejut. Ia kira Deon akan menggendong dirinya dari belakang, bukan ala bridal style seperti ini. Laura memukul-mukul dada bidang Deon—minta agar cepat diturunkan sekarang juga atau ia akan merasa malu di sepanjang jalan.

Namun bukannya menuruti, Deon malah berpura-pura tuli dan tetap berjalan santai di koridor tak peduli akan beberapa orang yang tengah memperhatikannya dengan Laura saat ini. "Deon! Turunin gue, cepet! Malu banget orang-orang pada liatin.. Ah, terserah! Annoying banget lo, kesel!"

"Lucu banget sih, mantan gue yang satu ini.." ucap Deon diiringi kekehan gemas.

"Satu ini apaan? Emang lo punya mantan lagi, selain gue?!" tanya Laura menyelidiki Deon. Setahunya sih, tidak ya. Apa ia yang tidak tahu? Entahlah, Deon bahkan tidak menjawab sampai Laura diturunkan di depan kamar mandi. Deon langsung merenggangkan ototnya di sana—yang mana menjadi penyebab mengapa Laura mengalihkan pandangan dari Deon. Ehm—tidak sanggup..

Deon menyurai rambutnya menggunakan tangan, sambil menatap Laura dengan tatapan songong. "Punya, lah! Emang lo? Mantannya gue doang.. kasian.."

"Ya, terserah. Abis ini gue mau cari mantan baru—yang lebih baik daripada lo. Bye!"

𝐋𝐎𝐂𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang