Happy Reading!
***
Ini adalah pertama kalinya Reza menemukan satu tempat duduk di tribun lapangan basket.
Selama tiga tahun berturut-turut, ia selalu berdiri karena tidak pernah ada orang—atau tidak ada yang mau—mengizinkan ia untuk duduk di sana.
Jika ingin melihat anak-anak lain bertanding, ia harus rela untuk berdiri selama dua jam penuh hanya demi menonton Giovanni.
Namun kali ini, semuanya berubah.
"Lo duduk di sini," Giovanni mendudukkan Reza di tribun tengah. "Lo harus janji nggak bakal pulang sebelum gue selesai."
Reza mengangguk, seperti anak anjing. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu maksa saya untuk nonton?"
Reza adalah aktor yang luar biasa. Ia bisa menyembunyikan rasa gugup yang menjalar dari kaki menuju kepala. Keajaiban telah terjadi begitu saja. Mereka berteman dalam waktu singkat. Ini adalah kesempatan.
"Gue kadang kasihan sama lo," ujar Giovanni. "Nonton basket lebih seru dari pada diem di perpus kayak batu. Kalau tertarik, gue bisa ngajarin lo."
Reza mengerjap, terlihat biasa saja. Kemudian, ia tersenyum. "Saya pernah nonton kamu main beberapa kali, tapi bukan berarti saya tertarik sama basket."
Reza tidak pernah tertarik dengan basket. Ia malah lebih tertarik dengan seseorang yang memainkan olahraga itu.
Giovanni akhirnya hanya mengangguk. Dia menoleh pada Rana yang memanggil namanya berulang kali. Ia pun segera meninggalkan Reza yang lagi-lagi, hanya bisa tersenyum.
Reza tidak peduli dengan bisik-bisik dari gerombolan siswi kelas dua. Mereka bertanya-tanya mengapa Reza bisa mengobrol dengan Giovanni yang merupakan impian dari setiap perempuan. Terlihat normal dan menyenangkan. Terlihat biasa sekaligus luar biasa.
Di bawah sana, Giovanni melepas seragam dan membiarkan kaus hitam menjadi pakaiannya di pertandingan sore ini. Ia melangkah menuju lapangan, menghampiri Rana yang pemanasan. "Kita lawan siapa?"
"Adek kelas," Rana menyeringai. "Ya ampun, udah lama gue nggak tepe-tepe sama mereka."
Giovanni diam saja saat tiba-tiba melihat Rana menoleh ke salah satu tribun, melambaikan tangan pada anak-anak perempuan kelas dua yang kebetulan ikut menonton. Jeritan manja langsung mengudara, meneriaki nama Rana dengan penuh suka cita.
Setelah pemanasan selesai, kelas XI IPS 1 dan kelas XII MIPA 2 langsung mengambil posisi masing-masing.
Ryan dari XI IPS 1 dan Giovanni dari XII MIPA 2, mengambil posisi sebagai starter dalam jump ball kali ini.
"Dari dulu gue pengen banget ngalahin lo," Ryan berbisik, menatap remeh pada Giovanni yang ada di depannya. "Gue masih nggak ngerti kenapa lo milih Adit jadi kapten."
Giovanni mengerjap. Ekspresinya masih datar minta dihajar. "Adit nggak sombong kayak lo."
Derry, siswa kelas XI MIPA 1 yang menjadi wasit, melempar bola ke atas—menjadi pusat dari awal pertandingan.
Ryan mendengus. "Bangsat."
PRIIIIITTTT!
Permainan pun dimulai.
Sesuai prediksi, permainan dipimpin oleh Giovanni. Ia jauh lebih tinggi dari pada Ryan. Hal yang mudah baginya untuk menggapai bola. Giovanni langsung mengoper pada Arya yang berlari cepat ke depan.
Arya tertawa keras, membiarkan dua orang dari tim lawan menjaganya. "MAJU LO SEMUA, KRUCIL SIALAN!"
Lapangan terlihat ramai dengan pemain yang sibuk memperebutkan bola. Tiga tribun di lapangan itu penuh dengan sorak-sorai, meneriaki nama pemain yang mereka sukai. Reza melirik ke bawah, menemukan Gladis dan teman-temannya menjeritkan nama Giovanni dengan sekuat tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA YANG SAMA [BL]
Teen Fiction[CERITA HOMO] [ 🔞 DI BAB TERTENTU] [DRAMA, TIDAK ADA HUMOR] [DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jika diperhatikan, Reza Samuel Ivander adalah wujud dari manusia yang sulit ditebak. Dikenal karena kecerdasan dan gaya bicara yang formal, ia memutu...